Arab Saudi dilaporkan tengah mencari cara menormalisasi hubungannya dengan Israel yang selama ini nihil sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina.
Rencana normalisasi ini disebut-sebut ada campur tangan dari Amerika Serikat, sekutu dekat Saudi dan Israel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rumor normalisasi Israel dan Saudi memang sudah cukup lama terdengar. Namun, Riyadh sampai saat ini masih enggan buka suara terkait rumor tersebut.
Pada Selasa (6/12), kantor berita Israel i24NEWS melaporkan Saudi tengah berupaya menjalin hubungan resmi dengan Israel meski ini akan memakan waktu lama sebelum bisa benar-benar terwujud.
i24NEWS melaporkan Menteri Negara Urusan Luar Negeri Saudi, Abdel al-Jubeir, bahkan menjamin normalisasi Israel-Saudi akan terjadi pada akhirnya meski ia sadar itu butuh waktu.
Hal itu diucapkan Abdel saat berbicara dengan para pemimpin senior Yahudi Amerika Serikat baru-baru ini.
Selain itu, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MbS), juga disebut telah bertemu dengan pejabat AS di Riyadh yang diundang oleh Washington Institute.
Dikutip Jerusalem Post, dalam pertemuan itu, MbS melayangkan tiga tuntutan utama yang harus dipenuhi sebelum Saudi memutuskan bergabung dalam Perjanjian Abraham soal normalisasi hubungan dengan Israel.
Jika benar terjadi, Saudi akan menjadi negara Arab terbaru yang normalisasi hubungan dengan Israel melalui Perjanjian Abraham setelah Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko pada September 2020. Hal ini dipastikan memicu kritik hingga kecaman dari para pendukung Palestina.
Apa saja tiga tuntutan Saudi?
Arab Saudi memang merupakan salah satu sekutu dekat AS di Timur Tengah. Meski begitu, selama ini relasi kedua negara tak selalu mesra.
Beberapa isu yang kerap mengganjal hubungan AS-Saudi selama ini adalah soal penegakan hak asasi manusia (HAM). AS merupakan negara demokratis dan mengklaim menjunjung tinggi penegakan HAM.
Sementara itu, Saudi merupakan negara konservatif Islam di mana hukum syariat Islam masih kukuh dipegang. Karena itu, sejumlah praktik hukum seperti eksekusi mati narapidana sampai batasan hak perempuan kerap menjadi perhatian AS.
Terlebih, pembunuhan jurnalis The Washington Post Jamal Khashoggi pada 2018 di Istanbul, Turki, semakin membuat relasi AS-Saudi pun canggung. Kashoggi tewas dibunuh di gedung konsulat Saudi di Istanbul oleh oknum pejabat pemerintah yang diyakini bekerja atas suruhan Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MbS).
Di satu sisi, banyak pihak di AS menyerukan Gedung Putih agar menjatuhkan sanksi terhadap Saudi dan memproses hukum MbS. Namun, di sisi lain, AS juga memiliki banyak kepentingan dengan Saudi salah satunya dalam membantu meredam pengaruh Iran dan soal minyak.
Relasi Saudi-AS kembali mesra ketika Presiden Donald Trump menjabat. Pembelian senjata AS cukup lancar di era Trump yang membuat Raja Salman senang.
Namun, hubungan Riyadh dan Washington kembali renggang ketika Presiden Joe Biden menjabat sejak 2021 lalu.
Kedatangan Biden ke Saudi pada Juli lalu bahkan tak disambut senyuman oleh MbS. Putra Mahkota bahkan mempermalukan Biden dengan mengumumkan pembatasan produksi minyak yang berbeda jauh dari permintaan AS.
Biden sampai jengkel saat televisi negara Saudi menyorot wajahnya dalam pertemuan meja bundar tersebut.
Berlanjut ke halaman berikutnya >>>