Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden petahana Turki Recep Tayyip Erdogan disebut-sebut susah payah mendapat suara di pemilihan umum (Pemilu) Turki kali ini.
Dalam pemilu sebelumnya, Erdogan biasanya menang mutlak. Namun, dalam pemilu yang berlangsung akhir pekan lalu, ia hanya mendapat 49,51 persen atau tak mencapai suara mayoritas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Angka tersebut hanya berselisih kurang dari 5 persen dari rival kuatnya, Kemal Kilicdaroglu. Dia mendapat 44,88 persen.
Dengan demikian, putaran kedua bakal digelar dan akan berlangsung pada 28 Mei.
Mengapa Erdogan tampak susah payah meraup suara?
[Gambas:Video CNN]
Pengamat hubungan internasional yang fokus soal kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Sya'roni Rofii, membeberkan penyebab perolehan suara Erdogan tak melebihi 50 persen.
"Penyebabnya karena koalisi enam partai politik "millet ittifak" mengusung ide yang sama untuk mengganti Erdogan dan mengganti sistem," ujar Sya'roni kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/5).
Ia kemudian berujar, oposisi ini berada dalam kepentingan yang sama untuk mengakhiri era Erdogan.
Pengamat hubungan internasional lain, Yon Machmudi, memiliki penilaian yang serupa. Ia menggarisbawahi sejumlah faktor yang mempengaruhi perolehan suara Erdogan.
"Pertama, kecenderungan Erdogan yang mulai dianggap sedikit otoriter terhadap lawan politiknya karena hampir 20 tahun berkuasa," kata Yon kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/5).
Ia lalu bercerita gempa dahsyat bermagnitudo 7,7 yang mengguncang Turki pada Februari juga mempengaruhi perolehan suara.
Saat gempa, rezim Erdogan panen kritik karena dianggap lamban dalam merespons gempa. Mereka juga disalahkan karena banyak gedung yang roboh dan korban berjatuhan.
"Gempa yang menimpa sebagian wilayah Turki membuat rakyat kecewa atas kerja pemerintah yang dianggap lamban," ungkap Yon lagi.
Lanjut baca di halaman pertama...
Yon Machmudi juga menyinggung soal situasi ekonomi Turki di bawah pemerintahan Erdogan.
Turki pernah mengalami inflasi hingga 85 persen pada November 2022. Angka ini merupakan inflasi tertinggi selama 25 tahun. Merespons situasi tersebut, Bank sentral Turki memangkas suku bunga untuk ketiga kali dari 12 persen menjadi 10,5 persen.
Erdogan memandang suku bunga tinggi sebagai penyebab inflasi, bukan sebaliknya, yang bertentangan dengan teori ekonomi ortodoks.
Terkait ekonomi, pesaing Erdogan dinilai tak bisa menjamin kondisi ekonomi di negara itu lebih baik.
Warga Turki, lanjut Yon, kini dilematis bakal memilih Erdogan atau Kilicdaroglu.
"Bayang-kembali kepada pemerintahan sekuler yang gagal secara ekonomi di masa lalu juga membuat rakyat tidak sepenuhnya bisa mendukung Kilicdaroglu. Artinya tidak ada pemimpin alternatif yang menjanjikan," ujar Yon.
Ia kemudian berkata, "Pilihannya adalah mempertahankan Erdogan atau kembali ke masa lalu seperti era Kemalisme."
Era Kemalisme yang dimaksud adalah saat Turki berada di bawah kekuasaan Mustafa Kemal Ataturk. Ia membawa negara ini berhaluan sekuler dan nasionalis.
Salah satu kebijakan Ataturk yakni mengganti sekolah-sekolah agama dengan pendidikan umum, menghapus sistem kekhalifahan, dan mengakhiri aturan hukum berbasis agama.
Di putaran kedua pemilu Turki, sejumlah pengamat menilai pertarungan semakin ketat.
"Untuk putaran kedua pasti akan ketat. Erdogan akan head to head dengan Kilicdaroglu. Sementara suara Sinan Ogan yang 5 persen akan menjadi rebutan dua kontestan," ungkap Sya'roni.
Sementara itu, di putaran kedua, Yon menilai Erdogan memiliki kesempatan untuk kembali menguasai Turki.
"Sebagai inkumben yang masih punya pengaruh di birokrasi maka saya melihat Erdogan memiliki kesempatan menang lebih besar," kata Yon.
Pengamat Pengamat dari Institut Kajian Asia dari Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, Boris Doglov, juga punya pandangan serupa dengan Yon.
Doglov mengatakan perolehan suara Kilicdaroglu merupakan kemenangan bagi oposisi. Namun, ia meyakini Erdogan tetap menang di putaran kedua.
"Saya yakin Erdogan punya cukup kesempatan untuk menang di putaran kedua," ujar Doglov, seperti dikutip TASS, Senin.
"Dia berkepribadian karismatik dan seorang politikus yang telah membuat langkah besar dalam kebijakan luar negeri."