Krisis politik belum usai, Libanon kini terancam menghadapi tantangan baru usai pelaksana (plt) perdana menteri, Najib Mikati, mengatakan pemerintah tidak mampu lagi membayar gaji PNS mulai akhir Juni ini.
"Pemerintah tidak akan dapat membayar gaji PNS jika parlemen tidak menyetujui alokasi dana tambahan untuk upah," kata Mikati dalam sebuah pernyataan setelah menggelar rapat kabinet pada Kamis (15/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada April lalu, pemerintah Libanon menyetujui keputusan menaikkan gaji dan tunjangan transportasi bagi PNS.
Kenaikan ini berlangsung kala ekonomi Libanon kacau. Mata uang pound Libanon juga terus anjlok
Sebanyak 49 orang dari total 128 anggota parlemen Libanon menentang sidang majelis digelar. Ini berlangsung kala parlemen juga gagal memilih presiden baru sejak jabatan eks Presiden Michel Aoun berakhir pada Oktober lalu.
Berdasarkan konstitusi Libanon, presiden adalah satu-satunya orang yang memiliki kewenangan menuntut diadakannya sidang parlemen.
Sementara itu, dikutip kantor berita Anadolu, parlemen Libanon masih gagal memilih seorang presiden lantaran perbedaan pendapat antara kubu-kubu politik yang ada.
Mata uang pound Libanon juga terus anjlok dari dolar. Inflasi tahunan Libanon juga naik menjadi 269 persen pada April lalu, tertinggi di dunia menurut Bank Dunia.
Libanon telah menghadapi krisis ekonomi yang terjadi sejak 2018-2019. Saat itu, Libanon kekurangan mata uang asing sehingga nilai pound Libanon melemah terhadap dolar Amerika Serikat.
Pada akhir 2019, terungkap bahwa Libanon juga melakukan praktik skema piramida atau skema Ponzi, di mana bank sentral berutang kepada bank-bank komersial dengan tingkat bunga di atas rata-rata pasar.
Uang pinjaman itu pun dipakai pemerintah untuk membayar utang lainnya dan mempertahankan Libanon.
Krisis memburuk akibat pandemi Covid-19.
(rds)