Sementara itu, Asisten Profesor Ilmu Politik di University of Connecticut, Yonatan Morse, mengatakan para diktator di Afrika bisa berkuasa, bahkan dengan sangat langgeng, karena mereka cerdik menggunakan taktik wortel dan tongkat untuk memanipulasi perpecahan etnis.
Wortel dan tongkat adalah metafora yang merujuk pada pemberian hadiah dan hukuman guna mendorong sikap tertentu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami sering berasumsi bahwa autokrasi di Afrika bertahan karena para penguasa dengan cerdik menggunakan hadiah dan hukuman, sebagian untuk memanipulasi perpecahan etnis untuk membentuk hasil pemilu," kata Morse dalam tulisannya yang dimuat di laman Democracy in Africa.
Morse juga mengatakan diktator atau autokrat di Afrika bisa memerintah karena kerap menggunakan "klientelisme dan etnisitas sebagai dasar kekuasaan politik."
Klientelisme adalah fenomena di mana para pemilih diberikan imbalan bantuan atau manfaat material apabila memberikan dukungan elektoral.
Para diktator ini mengandalkan etnis yang sama untuk meraup dukungan sehingga bisa memerintah di suatu negara. Di samping itu, mereka juga menggunakan kekerasan untuk mencegah kekalahan.
"Dalam kasus seperti Kamerun, autokrat hanya dapat membangun kembali dukungan pemilih dengan mengkooptasi kelompok etnis," ujar Morse.
Selain itu, diktator juga mempertahankan kekuasaan di balik partai politik yang besar. Menurut Morse, partai yang dibangun rezim otoriter ini menargetkan daerah pedesaan dan sengaja mendekat dengan rakyat dalam kegiatan sehari-hari mereka.
Tanzania merupakan salah satu contoh negara Afrika yang meraih dukungan lewat pengaruh partai. Di Tanzania, rezim sengaja membuat rakyat bergantung pada satu partai besar ketimbang pada individu perseorangan.
(blq/bac)