Serangan Israel di Jalur Gaza, Palestina, semakin menggila usai militer mulai mengintensifkan serangan di udara dan darat pada Jumat (27/10) lalu.
Hingga Rabu (1/11), korban tewas di Gaza mencapai 8.525 orang, dengan 21.543 lainnya luka-luka. Sebagian besar korban merupakan anak-anak.
Israel berdalih gempuran ke Gaza dilakukan untuk memberangus Hamas, yang melancarkan serangan dadakan ke negaranya pada 7 Oktober lalu. Serangan Hamas itu pun memicu perang berkelanjutan dengan Israel hingga hari ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, Israel terus menggencarkan gempuran ke wilayah-wilayah pemukiman warga, kamp pengungsian, bahkan rumah sakit di Gaza. Salah satu yang paling brutal adalah gempuran Israel ke Rumah Sakit Baptis Al Ahli pada 17 Oktober lalu yang menewaskan 500 orang.
Dua hari terakhir, Israel juga membombardir kamp pengungsian Jabalia di Gaza hingga dilaporkan menewaskan 195 orang yang kebanyakan anak-anak dan perempuan. Kamp pengungsian terbesar di Gaza itu seluas Hayde Park di London, menampung sekitar 16 ribu warga Palestina sejak 1948 ketika negara Arab berperang dengan Israel.
Meski kebrutalan di Gaza sudah nyata terlihat, negara Barat terutama Amerika Serikat dan Inggris yang menjadi sekutu utama Israel tetap mendukung negara Zionis tersebut. AS bahkan mendukung Israel yang menolak gencatan senjata dengan dalih Israel berhak mempertahankan diri.
Beberapa resolusi di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) soal gencatan senjata dan jeda kemanusiaan juga diveto AS.
Di sisi lain, masih ada negara-negara Arab dan Muslim yang diharapkan mampu berada di garda terdepan membela Palestina. Namun, sejauh ini, negara-negara Arab terutama dinilai masih lemah merespons kebrutalan Israel di Gaza. Sejauh ini, Arab Saudi dan negara-negara Teluk Arab baru melayangkan kecaman dan memberikan bantuan kemanusiaan.
Salah satu hal yang paling menonjol yang diupayakan negara-negara Arab atas konflik Gaza yakni mengusulkan resolusi gencatan senjata di sidang khusus Majelis Umum PBB.
Resolusi itu mendesak gencatan senjata kemanusiaan segera di Gaza, mengutuk semua tindakan kekerasan terhadap warga sipil Palestina dan Israel, termasuk mengupayakan pengiriman bantuan tanpa hambatan dan perlindungan bagi warga sipil.
Didukung 120 negara, resolusi itu pun sukses diadopsi pada Jumat (27/10). Namun, resolusi ini tidak mengikat secara hukum. Resolusi ini mengandung beban moral yang jika dilanggar bisa mengakibatkan Israel berhadapan dengan nilai dan norma universal internasional.
Pengamat studi Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Sya'roni Rofii, mengatakan negara-negara Arab saat ini sedang berada dalam posisi dilematis.
Sya'roni mengatakan hal itu disebabkan karena beberapa negara Arab belakangan sudah rujuk kembali dengan Israel, sementara yang lainnya ada yang masih menjajaki komitmen tersebut.
"Negara-negara Arab berada dalam posisi dilematis karena di satu sisi sebelumnya mereka mencoba membangun komitmen normalisasi dengan Israel, akan tetapi dengan adanya peristiwa ini tentu saja mereka harus melakukan kalkulasi ulang melihat dinamika yang ada. Internasional mengecam maka semestinya negara-negara Arab juga melakukan kecaman lebih dari itu," kata Sya'roni kepada CNNIndonesia.com, Rabu (1/11).
Pada 1979, Mesir menandatangani perjanjian damai dengan Israel usai bersitegang bertahun-tahun karena Perang Arab-Israel 1948. Yordania kemudian menyusul pada 1994, diikuti Sudan, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain pada 2020.
Tahun ini, Arab Saudi juga makin santer dikabarkan bakal normalisasi hubungan dengan Israel. Riyadh dan Tel Aviv disebut terus bergerak maju hingga "sedikit lagi" menuju rujuk.
Kendati begitu, usai perang milisi Hamas dengan Israel pecah 7 Oktober lalu, Saudi dengan gamblang memutuskan menyetop sementara pembicaraan soal normalisasi hubungan diplomatik dengan Tel Aviv. Saudi menegaskan bahwa isu Palestina menjadi prioritas utama mereka.
Lihat Juga :![]() KILAS INTERNASIONAL Houthi Yaman Mulai Serang Israel sampai Warga Gaza Makin Sekarat |
Sementara itu, menurut pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia Yon Machmudi, negara-negara Arab tak berani tegas lantaran belakangan sedang menjalin hubungan baik dengan Amerika Serikat.
AS adalah sekutu paling kuat Israel. Karenanya, Jazirah Arab enggan frontal merespons konflik yang sudah meluas ini.
"Dilatarbelakangi hubungan mereka yang sangat baik dengan Amerika. Dalam satu sisi, saat ini kan Amerika memberikan dukungan kepada Israel maka negara-negara Arab enggak bisa secara frontal untuk memberikan bantuan dukungan yang signifikan kepada Palestina selain dari aspek kemanusiaan," ucap Yon kepada CNNIndonesia.com.
Selain karena hubungan baik dengan AS, Yon juga berpandangan negara-negara Arab kemungkinan tak begitu vokal atas Palestina lantaran tidak begitu senang dengan keterlibatan Iran di perang Hamas-Israel.
Negara-negara Teluk memang tidak punya hubungan harmonis dengan Iran. Arab Saudi, UEA, dan Mesir tercatat kerap sikut-sikutan dengan Teheran karena beberapa masalah, seperti perbedaan pandangan aliran agama, perbedaan pandangan politik, rivalitas pengaruh di kawasan, hingga kontroversi program nuklir Iran.
Namun, pada Maret tahun ini, angin segar datang dalam hubungan Saudi dengan Iran. Kedua negara sepakat rekonsiliasi setelah bertahun-tahun menjadi rival yang tampak akan abadi.
"Kemudian yang kedua, musuh yang kemudian dicoba diyakinkan oleh Amerika ke negara-negara tersebut dalam politik yang diwakili oleh Ikhwanul Muslimin (IM). Ikhwanul Muslimin menurut mereka sebagai musuh mereka terutama dalam gejolak Arab Spring dan itu [IM] memiliki hubungan yang kuat dengan Hamas," ucap Yon.
Sejak 1997, AS mencap Hamas sebagai organisasi teroris karena milisi yang berkuasa di Gaza itu muncul pada 1987 selama pemberontakan Palestina pertama atau intifada.
Menurut AS, Hamas ialah cabang Ikhwanul Muslimin di Palestina yang hendak membentuk negara Islam Palestina dan menggantikan Israel.
Hamas juga merupakan milisi yang dibekingi oleh Iran. AS dengan Iran sendiri tidak punya hubungan baik, terutama sejak Revolusi Iran 1979.
Kedua negara itu terus bertengkar, bahkan pernah sampai ingin konflik terbuka karena sejumlah masalah mulai dari hak pengelolaan minyak bumi pada 1950, dukungan AS terhadap Irak dalam perang sipil Iran-Irak 1980, hingga penyerbuan terhadap kedutaan besar AS di Teheran.
"Jadi ada dua hal: yang pertama ketidaksukaan terhadap Iran, yang kedua juga gencarnya propaganda dari Israel dan Amerika untuk meyakinkan bahwa Hamas itu berbahaya. Ini menjadikan mereka [negara-negara Arab] tidak memberikan support secara kuat kepada Palestina," tuturnya.
Apa yang bisa dilakukan negara lain, terutama negara Muslim seperti Indonesia untuk membantu Palestina? Baca di halaman berikutnya >>>