Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah Jepang kembali memperingatkan warganya tentang kemungkinan terjadinya megaquake atau gempa besar di wilayah Nankai.
Kawasan tersebut adalah wilayah rawan gempa yang mencapai luas 800 kilometer persegi di pantai Pasifik Jepang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peringatan ini memicu kembali pertanyaan besar, apakah Jepang memiliki teknologi yang dapat memprediksi gempa bumi terutama gempa besar megaquake?
Dilansir dari AFP, berdasarkan data terbaru pemerintah, kemungkinan terjadinya gempa besar di Nankai dalam 30 tahun ke depan kini mencapai 75-82 persen.
Jika benar terjadi, dampaknya diprediksi bisa sangat mematikan, menyebabkan hampir 300.000 korban jiwa dan kerugian ekonomi hingga US$2 triliun (sekitar Rp32 ribu triliun).
Namun, para ahli menyatakan bahwa sejauh ini tidak ada teknologi atau metode ilmiah yang mampu memprediksi waktu, lokasi, dan kekuatan gempa secara akurat.
"Dengan ilmu pengetahuan saat ini, tidak mungkin memprediksi kapan dan di mana gempa akan terjadi," kata Ryoichi Nomura, Kepala Badan Meteorologi Jepang (JMA), dalam konferensi pers Mei lalu.
Peringatan atau Kepanikan?
Pemerintah Jepang pada awal tahun ini untuk pertama kalinya mengeluarkan peringatan tentang peningkatan kemungkinan gempa besar.
Ini sebuah langkah yang diambil setelah aktivitas seismik di sekitar wilayah Nankai meningkat.
Namun, peringatan tersebut tidak disertai dengan instruksi evakuasi massal, dan akhirnya dicabut seminggu kemudian.
"Kemungkinan terjadinya gempa besar memang lebih tinggi dari biasanya, tapi bukan berarti gempa pasti akan terjadi," tulis pernyataan resmi JMA.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Pakar seismologi dari Universitas Tokyo, Profesor Robert Geller, secara terbuka meragukan efektivitas sistem peringatan tersebut.
Ia menyebut sistem ini "hampir tidak berkaitan dengan sains", karena sifat gempa bumi yang sangat acak dan tidak bisa dipastikan apakah suatu gempa adalah tanda awal (foreshock) atau justru gempa utama (mainshock).
"Sekitar 95 persen gempa bukan foreshock. Dan hanya 5 persen yang bisa berujung pada gempa besar, tapi itu pun baru bisa diketahui setelahnya," jelasnya kepada BBC.
Hingga kini, tidak ada metode ilmiah yang mampu memprediksi gempa bumi secara tepat.
Namun, peringatan sekarang, meski tidak sempurna, diyakini bisa meningkatkan kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat.
"Satu-satunya hal pasti soal gempa adalah kita tidak bisa memprediksinya. Tapi kita bisa bersiap," tutup Geller.
Dampak sosial dan ekonomi
Ketidakpastian ini juga berdampak pada sektor pariwisata Jepang.
Sebuah manga yang dipublikasikan ulang tahun 2021 meramalkan bencana besar terjadi pada 5 Juli 2025, sehingga memicu kecemasan luas di media sosial.
Maskapai Greater Bay Airlines asal Hong Kong bahkan mengurangi jumlah penerbangan ke Jepang karena turunnya permintaan secara tiba-tiba.
Data resmi menunjukkan jumlah wisatawan dari Hong Kong ke Jepang turun 11,2 persen pada Mei lalu dibandingkan tahun sebelumnya.
Persiapan dan realita
Meski prediksi ilmiah belum tersedia, pemerintah Jepang terus meningkatkan upaya mitigasi.
Perdana Menteri Fumio Kishida bahkan membatalkan perjalanan luar negerinya demi memastikan kesiapan nasional, menegaskan bahwa kewaspadaan perlu ditingkatkan, meskipun risiko sebenarnya belum pasti.
Di sisi lain, beberapa warga seperti Masayo Oshio justru merasa pemerintah "berlebihan" dalam menyikapi situasi ini. Namun, dia mengaku mulai mengecek kembali persediaan darurat di rumahnya.
"Setidaknya, peringatan itu membuat saya kembali memikirkan kesiapan di rumah," ujar Masayo.
"Saya sudah lama tidak mengecek air minum, makanan kaleng, dan baterai," katanya lagi.