Sejarah Mahathir dan Anwar bukanlah cerita baru di panggung politik Malaysia.
Hubungan keduanya telah melalui berbagai fase, dari kawan dekat, menjadi musuh bebuyutan, lalu berdamai, dan kini kembali meregang.
Pada era 1980-an, Mahathir yang baru menjabat sebagai Perdana Menteri merekrut Anwar ke dalam UMNO.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anwar yang saat itu dikenal sebagai aktivis Islam dan pejuang anti-kemiskinan dengan cepat menanjak dalam pemerintahan.
Dari Menteri Pertanian, Menteri Pendidikan, hingga Menteri Keuangan, karier Anwar terus memanjat.
Pada 1993, Mahathir menunjuknya sebagai Wakil Perdana Menteri dan direncanakan sebagai penerusnya.
Namun hubungan keduanya retak pada 1998, ketika Anwar yang sempat menjadi PM interim mulai mengkritik korupsi dalam tubuh UMNO.
Tak lama, ia dipecat dan dipenjara atas tuduhan sodomi dan korupsi, tuduhan yang oleh banyak pihak dianggap bermuatan politik.
Didalam penjara, Anwar memimpin gerakan Reformasi dan mendirikan Partai Keadilan.
Setelah bebas pada 2004, ia kembali aktif di dunia politik, namun dijebloskan kembali ke penjara pada 2015 oleh pemerintahan Najib Razak.
Ironisnya, Mahathir kemudian bekerja sama kembali dengan Anwar untuk melawan Najib.
Mereka menyepakati perjanjian politik: Mahathir akan menjabat sementara sebagai PM dan menyerahkan jabatan itu ke Anwar setelah dua tahun.
Mahathir kembali menjabat sebagai PM pada 2018 lewat koalisi Pakatan Harapan. Namun, peralihan kekuasaan tak pernah terjadi.
Mahathir mundur pada 2020 di tengah gejolak politik, dan Anwar harus menunggu dua tahun lagi sebelum akhirnya dilantik sebagai Perdana Menteri ke-10 Malaysia pada 2022.
Kini, sejarah kembali berulang.
Mahathir dan Anwar kembali saling berseberangan, kali ini dengan Mahathir di posisi oposisi vokal terhadap orang yang dulu pernah ia percaya sebagai pewaris kekuasaannya.
(zdm/bac)