Kebebasan pers di Pakistan terus mengalami tekanan berat, dengan lembaga negara, terutama militer dan badan intelijen, dituding memainkan peran besar dalam membungkam jurnalisme independen.
"Baik media konvensional maupun digital di Pakistan kini menghadapi sensor, pengawasan, dan intimidasi sistematis," kata analis keamanan internasional dan geopolitik, Vaishali Basu Sharma.
Sebuah laporan berjudul "Intimidation on All Fronts: Press Freedom and Media Safety in Pakistan" yang dirilis menjelang Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025 mengungkap pola represi terhadap insan pers, mulai dari pemanggilan, penyensoran konten, hingga kekerasan fisik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, ujar Sharma, konstitusi Pakistan menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Namun dalam praktiknya, hak-hak tersebut kerap dilanggar. Pakistan kini berada di peringkat ke-152 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2024.
Pembatasan terhadap media di Pakistan memiliki akar sejarah yang dalam. Pada era Jenderal Ayub Khan di 1960-an, pemerintah memberlakukan undang-undang yang mengkriminalisasi kritik terhadap negara. Tekanan makin kuat di bawah rezim Jenderal Zia-ul-Haq yang dikenal luas karena menyensor pers secara besar-besaran.
Di era Jenderal Pervez Musharraf, muncul model baru yang lebih modern, namun tetap represif, termasuk pendirian Pakistan Electronic Media Regulatory Authority (PEMRA) pada 2002. Lembaga ini awalnya dibentuk untuk mengatur media elektronik, namun kini sering digunakan untuk mendikte narasi negara dan menghukum media yang dianggap tidak sejalan.
Dalam beberapa tahun terakhir, pengawasan juga meluas ke ranah digital. Undang-Undang Kejahatan Siber 2016, yang semula bertujuan memberantas kejahatan daring, justru kerap digunakan untuk menjerat jurnalis digital, blogger, dan aktivis sipil.
UU Perlindungan Jurnalis 2021 yang seharusnya memperkuat perlindungan terhadap wartawan, justru mengandung klausul yang membatasi perlindungan hanya bagi mereka yang mematuhi "standar pemerintah." Amandemen tahun 2025 semakin memperluas definisi pelanggaran, terutama terhadap peliputan digital.
Selama pemilu 2024, pemerintah Pakistan memutus akses internet dan layanan seluler di beberapa wilayah, termasuk Islamabad, atas perintah Kementerian Dalam Negeri dan Otoritas Telekomunikasi Pakistan yang saat itu dipimpin pensiunan Jenderal Hafeezur Rehman. Pemadaman tersebut mengganggu peliputan pemilu dan membatasi akses publik terhadap informasi.
Rencana pembentukan Pakistan Media Development Authority juga menuai kritik tajam. Lembaga ini disebut-sebut akan memiliki wewenang luas untuk menutup media dan memproses jurnalis melalui pengadilan khusus jika kontennya dianggap menyerang institusi negara. Kritikus menyebut badan ini bukan regulator, melainkan alat kontrol ideologis.
"Tekanan hukum tersebut dibarengi dengan tekanan finansial. Pemerintah menahan anggaran iklan untuk media yang dianggap kritis," sebut Sharma.
Surat kabar seperti Dawn dan Daily Sahafat kehilangan pendapatan karena hal tersebut. Sebaliknya, media yang pro-pemerintah terus menerima dukungan dana dan akses.
Sharma mengatakan ancaman terhadap jurnalis tak hanya berupa sensor. Intimidasi fisik, penculikan, bahkan pembunuhan semakin sering terjadi di Pakistan.
Pada Desember 2022, kepala biro Naseer Ghumman ditembak setelah memberitakan kasus korupsi lokal. Jurnalis Arshad Sharif dibunuh di Kenya setelah melarikan diri dari ancaman di Pakistan-kasusnya awalnya disebut "salah tembak," namun kemudian diduga sebagai pembunuhan terencana.
Istrinya, Javeria Siddique, yang juga wartawan, kini menghadapi perundungan daring secara masif. Kasus lainnya termasuk penahanan saudara Hayatullah Khan dan penangkapan berulang staf BOL News sepanjang 2023.
Menurut Pakistan Press Foundation, tujuh jurnalis dibunuh hanya dalam paruh pertama 2024. Di antaranya adalah Khalil Jibran, wartawan senior yang sebelumnya lolos dari beberapa upaya pembunuhan. Saad Ahmed dan Hasan Zaib juga menjadi korban pembunuhan yang belum terpecahkan hingga kini.
Penangkapan, penghilangan paksa, dan pemanggilan jurnalis menjadi praktik rutin, tutur Sharma. Wartawan ternama Imran Riaz Khan telah beberapa kali ditahan. Pada Februari 2024, hampir 50 jurnalis dan pembuat konten digital dipanggil karena mengkritik lembaga peradilan.
Semakin banyak jurnalis yang memilih meninggalkan Pakistan demi keselamatan dan masa depan profesional mereka. Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) mencatat, sejak 1992 setidaknya 64 jurnalis telah tewas di Pakistan.
Selama tahun 2025 saja, Pakistan Press Foundation melaporkan sedikitnya 34 kasus kekerasan fisik, penculikan, ancaman, dan pelecehan digital terhadap jurnalis. Ini bukan insiden terpisah, melainkan bagian dari pola sistematis untuk membungkam suara independen.
"Di tengah tekanan hukum, institusional, dan fisik yang terus meningkat, masa depan kebebasan pers di Pakistan menghadapi ketidakpastian yang semakin besar," pungkas Sharma.
(dna)