Amerika Serikat (AS) dan Israel tampaknya menghentikan pembicaraan mengenai gencatan senjata di Gaza pada Jumat (25/7). Kedua pemimpin negara tersebut menyalahkan Hamas atas kegagalan mencapai kesepakatan.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kedua sekutu itu mempertimbangkan opsi alternatif untuk memulangkan para sandera dan mengakhiri kekuasaan Hamas di Gaza. "Hamas adalah penghalang kesepakatan pembebasan sandera," kata Netanyahu berkilah.
Presiden AS Donald Trump mengeklaim Hamas tidak menginginkan kesepakatan gencatan senjata, setelah para negosiator menghabiskan waktu berminggu-minggu mempelajari proposal gencatan senjata 60 hari dan pembebasan sandera secara bertahap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sangat disayangkan. Hamas tidak benar-benar ingin membuat kesepakatan. Saya pikir mereka ingin mati," ucap Trump. Ditanya tentang langkah selanjutnya, ia mengatakan: "Saya pikir yang akan terjadi adalah mereka akan diburu."
Baik Israel maupun utusan AS Steve Witkoff pada Kamis (24/7) menyatakan mereka menarik negosiator dari Qatar, yang bersama AS dan Mesir telah menjadi mediator antara pihak-pihak yang bertikai.
Pejabat senior Hamas, Basem Naim, mengatakan pembicaraan itu konstruktif dan menyebut Witkoff menekan kesepakatan atas nama Israel. "Apa yang kami ajukan, dengan kesadaran dan pemahaman penuh tentang kompleksitas situasi, kami yakini dapat mengarah pada kesepakatan jika musuh memiliki kemauan untuk mencapainya," kata Naim, seperti dilansir The National.
Belum jelas apa "opsi alternatif" Israel. Jenderal tertinggi Israel, Letnan Jenderal Eyal Zamir, baru-baru ini mengatakan bahwa jika tidak ada kesepakatan yang tercapai, pasukan akan diinstruksikan untuk "mengintensifkan dan memperluas operasi tempur sebanyak mungkin."
Kesepakatan sempat tampak dekat di beberapa titik selama berminggu-minggu negosiasi, seiring dengan meningkatnya tekanan pada Israel untuk menghentikan pengepungan Gaza yang dituding menyebabkan kelaparan di wilayah tersebut.
Ratusan truk bantuan masuk ke Gaza setiap hari selama gencatan senjata sebelumnya yang disepakati pada Januari lalu. Namun, tentara Israel melanjutkan serangannya di Gaza pada Maret lalu dan mengontrol ketat apa pun yang masuk dan keluar di wilayah tersebut.
Hampir sepertiga penduduk Gaza kini "tidak makan selama berhari-hari," kata Program Pangan Dunia PBB kepada AFP pada Jumat (25/7), seraya memperingatkan bahwa krisis telah mencapai "tingkat keputusasaan yang baru dan mengejutkan."
"Hampir satu dari tiga orang tidak makan selama berhari-hari. Malnutrisi melonjak dengan 90.000 wanita dan anak-anak sangat membutuhkan perawatan," demikian pernyataan dari organisasi tersebut.
Kementerian Kesehatan Gaza pada Jumat mengatakan rumah sakit telah mencatat sembilan lagi kematian akibat kelaparan dalam waktu 24 jam, menjadikan total 113 kasus.
Israel menolak jumlah korban tewas yang dicatat dan menyebutnya sebagai propaganda Hamas dengan mengatakan ada banyak bantuan di dalam Gaza yang tidak disalurkan oleh pekerja bantuan PBB. Sementara itu, pekerja bantuan PBB mengatakan Israel mempersulit penyaluran.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Jumat mengecam kekuatan global karena mengabaikan penderitaan warga Palestina yang menghadapi kelaparan di Gaza, menyebut krisis ini sebagai "kegagalan moral" yang menunjukkan runtuhnya solidaritas global.
"Saya tidak dapat menjelaskan tingkat ketidakpedulian dan kelambanan yang kami lihat dari terlalu banyak pihak di komunitas internasional, kurangnya belas kasih, kurangnya kebenaran, kurangnya kemanusiaan," kata Guterres dalam pidato video di Majelis Global Amnesty International.
(wiw)