Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi kelaparan yang memburuk di Gaza. Ia mengatakan situasi di Gaza bukan sekadar krisis kemanusiaan, tetapi krisis moral yang mengguncang hati nurani dunia.
Dalam pernyataan terbarunya, Guterres mengungkap betapa parahnya kelaparan yang melanda wilayah itu. Ia menceritakan bahwa anak-anak di Gaza kini berbicara soal keinginan pergi ke surga, karena mereka percaya setidaknya "ada makanan di sana."
"Anak-anak berbicara soal ingin ke surga karena, setidaknya, menurut mereka, di sana ada makanan," kata Guterres seperti dilansir dari CNN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami mengadakan panggilan video dengan staf kemanusiaan kami yang kelaparan di depan mata kami sendiri. Ini bukan sekadar krisis kemanusiaan. Ini adalah krisis moral yang menantang hati nurani dunia," katanya.
PBB melaporkan bahwa seluruh penduduk Gaza, sekitar 2,1 juta jiwa kini berada dalam kondisi rawan pangan. Mereka tak lagi memiliki akses yang pada makanan yang cukup, bergizi, dan aman.
Data dari Kementerian Kesehatan Gaza menyebutkan, 900.000 anak sedang kelaparan, sementara 70.000 lainnya sudah menunjukkan gejala malnutrisi.
Lebih dari 100 organisasi kemanusiaan internasional juga telah mengeluarkan peringatan bersama awal pekan ini. Mereka menyebut bahwa para relawan dan rekan kerja mereka mulai melemah akibat kekurangan makanan.
"Kami menyaksikan kolega dan mitra kami perlahan-lahan mulai kurus badannya," tulis pernyataan itu.
Guterres menegaskan bahwa PBB akan terus bersuara dalam setiap kesempatan. Namun, ia mengakui bahwa kata-kata saja tidak akan cukup. "Kata-kata tidak mengenyangkan perut anak-anak yang kelaparan," ujarnya.
Situasi tragis ini juga dirasakan langsung oleh para tenaga kesehatan di lapangan. Aqsa Durrani, seorang dokter anak dan ahli epidemiologi dari Medecins Sans Frontieres (MSF), menyebut kondisi di Gaza sebagai "dunia distopia yang menjadi nyata."
Durrani yang baru kembali ke Amerika Serikat setelah tiga bulan bertugas di Gaza mengatakan bahwa tenaga medis kini hanya makan satu kali setiap dua hingga tiga hari. Saat ia meninggalkan wilayah tersebut, mereka masih mengusahakan satu kali makan per hari.
"Saya pikir saat itu sudah yang terburuk. Ternyata sekarang mereka harus membuat satu porsi makanan bertahan dua sampai tiga hari," ungkapnya kepada CNN.
Tenaga medis yang sedang kelaparan dan kelelahan tetap harus merawat pasien dalam kondisi kekurangan pasokan bantuan. Anak-anak, katanya, kini menangis bukan karena luka bakar tingkat tiga atau amputasi yang mereka alami, tapi karena kelaparan.
"Yang mereka tangisi adalah rasa lapar, bukan luka bakar mereka," kata Durrani.
Ia menekankan bahwa kebutuhan akan makanan dalam skala besar adalah hal yang mendesak dan tak bisa ditunda.
Menurutnya, satu dari empat anak kecil dan ibu hamil yang datang ke klinik MSF kini mengalami malnutrisi. Sementara itu, bantuan makanan lewat udara seperti yang diusulkan Israel dinilainya tidak memadai. "Jumlah makanan yang dijatuhkan dari udara itu terlalu sedikit, berbahaya, dan tidak efektif," tegasnya.
Blokade ketat yang diterapkan Israel telah menghambat masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza. Israel menyatakan akan mengizinkan bantuan dijatuhkan dari udara, namun PBB memperingatkan bahwa metode itu mahal dan berisiko tinggi.
(tst/sur)