Cerita lainnya adalah seorang pria asal Sri Lanka berusia 21 tahun, tertarik bergabung setelah dijanjikan gaji US$2.300 (sekitar Rp37 juta) per bulan dan kewarganegaraan Rusia untuk dirinya serta orang tuanya.
Namun, bukannya bekerja sebagai pembantu logistik seperti yang dijanjikan, ia malah dikirim ke medan perang di Ukraina dan ditangkap setelah terluka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi serupa dialami oleh pria asal Nepal berusia 35 tahun yang sebelumnya bekerja sebagai sopir taksi dengan penghasilan minim.
Tertarik janji penghasilan besar, ia menandatangani kontrak selama satu tahun dan setelah pelatihan singkat, dikirim ke wilayah Donetsk, salah satu garis depan di medan perang Rusia vs Ukraina.
Ia pun terluka di medan tempur. Di unitnya, terdapat puluhan warga asing lainnya dari Nepal, India, hingga Rusia, yang hanya mengandalkan alat penerjemah suara untuk berkomunikasi.
Namun ketika mencoba untuk pulang atau mundur dari pertempuran, mereka justru diancam hukuman penjara hingga 15 tahun karena telah terikat kontrak militer Rusia.
Banyak diantara mereka yang akhirnya terjebak, tidak bisa kembali ke negara asalnya, dan berada di zona konflik tanpa perlindungan hukum yang jelas.
Pengalaman Satria Kumbara menunjukkan betapa beratnya konsekuensi bagi warga asing yang terpancing tawaran menjadi tentara relawan di Rusia.
Selain kehilangan kewarganegaraan, mereka juga bisa terjebak dalam medan perang dan eksploitasi, tanpa akses hukum atau perlindungan diplomatik dari negara asal.
(zdm/bac)