Situs Warisan Dunia Buddhis di Pakistan Terancam Hilang, Ada Apa?
Pakistan, negara yang menyimpan kawasan Gandhara kuno tempat Buddhisme berkembang selama berabad-abad, kini menghadapi paradoks.
Di satu sisi, wilayah ini masih memiliki peninggalan bersejarah Buddhis yang mendunia. Namun di sisi lain, komunitas Buddhis yang tersisa hidup dalam kondisi terpinggirkan, sementara situs-situs warisan mereka terancam rusak akibat minim perawatan.
Lihat Juga : |
Situasi ini kian menjadi sorotan, menegaskan persoalan peminggiran minoritas dan pengabaian warisan budaya.
Sejarah kejayaan yang hilang kesinambungannya
Gandhara, yang berpusat di Pakistan utara, pernah menjadi pusat utama peradaban Buddhis. Daerah ini menghasilkan karya seni, arsitektur, dan pemikiran yang berpengaruh hingga Asia Tengah dan Asia Timur.
Taxila, Swat, dan Peshawar pernah menjadi pusat biara, perdagangan, dan pendidikan. Peziarah dari China bahkan datang untuk belajar dan menyebarkan ajaran dari wilayah ini.
Namun kesinambungan sejarah itu terputus. Reruntuhan masih ada, tetapi hanya dianggap peninggalan arkeologi, bukan simbol agama yang hidup.
Perubahan agama, penaklukan, serta pengabaian bertahun-tahun membuat komunitas Buddhis hampir hilang dari Pakistan.
Komunitas Buddhis yang menyusut
Jumlah umat Buddha di Pakistan diperkirakan hanya ribuan. Mereka tersebar dan sebagian besar tidak berani menyatakan agama secara terbuka. Banyak yang beribadah diam-diam karena takut dikucilkan atau menjadi korban diskriminasi.
Dalam masyarakat Pakistan, kelompok minoritas seperti Hindu, Kristen, Ahmadiyah, dan Sikh juga menghadapi tekanan. Namun umat Buddha, dengan jumlah yang lebih kecil dan tanpa dukungan institusi, menjadi semakin rentan.
Mereka jarang terlibat dalam kehidupan publik, minim kesempatan di pendidikan dan pekerjaan, serta tidak memiliki representasi politik memadai.
Kesaksian keluarga Buddhis di Sindh dan wilayah lain menunjukkan rasa takut yang masih kuat. Banyak dari mereka menyembunyikan identitas atau berpura-pura memeluk agama lain untuk menghindari pelecehan.
Kesempatan ekonomi juga terbatas, dan mereka yang mengekspresikan identitas keagamaannya berisiko kehilangan hak-hak dasar yang dimiliki.
Konstitusi Pakistan memang menjamin kebebasan beragama, tetapi implementasinya lemah. Proses Islamisasi kehidupan publik membuat ruang bagi agama lain semakin sempit, termasuk bagi Buddhisme yang jarang disebut dalam wacana resmi.
Situs warisan Buddhis tidak terawat
Selain persoalan komunitas, kondisi situs Buddhis di Pakistan juga mengkhawatirkan. Reruntuhan Taxila yang masuk daftar Warisan Dunia UNESCO, serta stupa dan biara di Lembah Swat, kini terancam rusak karena kurangnya dana dan perawatan.
Para peneliti dan wisatawan mencatat buruknya infrastruktur, minimnya upaya pelestarian, serta kerentanan monumen dari penjarahan hingga vandalisme. Perawatan yang dilakukan cenderung seadanya tanpa restorasi berarti. Di beberapa wilayah, faktor keamanan juga menambah risiko, mengingat adanya serangan terhadap simbol-simbol non-Islam di masa lalu.
Kasus penghancuran Patung Buddha Bamiyan di Afghanistan pada 2001 menjadi pengingat akan potensi bahaya serupa di kawasan ini. Di Pakistan, meskipun tidak terjadi kehancuran massal, kerusakan perlahan akibat kelalaian dianggap sebagai bentuk lain dari hilangnya warisan budaya.
Warisan yang tidak dimanfaatkan sebagai identitas budaya
Pakistan selama ini lebih menonjolkan peninggalan Lembah Indus dan warisan Mughal sebagai identitas sejarahnya. Warisan Buddhis, yang dikenal luas di dunia internasional, justru tidak banyak mendapat perhatian.
Padahal negara-negara seperti Sri Lanka, Thailand, dan Jepang menaruh kekaguman pada kontribusi Gandhara. Sementara itu, Pakistan kurang menjadikan peninggalan tersebut sebagai kebanggaan budaya. Hal ini dipandang mengurangi keaslian narasi sejarah sekaligus melemahkan posisi Pakistan dalam percakapan budaya global.
Nasib komunitas Buddhis dan situs warisan mereka dipandang mencerminkan sikap negara terhadap kelompok minoritas secara umum. Komunitas yang dipinggirkan dan peninggalan yang terabaikan menunjukkan adanya pesan bahwa sebagian identitas tidak dianggap penting untuk dipertahankan.
Pelemahan identitas Buddhis dilihat sebagai bagian dari masalah lebih luas, yakni eksklusi dan intoleransi yang dialami banyak kelompok minoritas di Pakistan.
Hingga 2025, kondisi ini belum berubah. Komunitas Buddhis tetap berada di pinggiran, tidak leluasa beribadah, dan peninggalan Gandhara terus mengalami kerusakan.
Situasi ini dinilai sebagai tragedi ganda: tragedi kemanusiaan, berupa hampir hilangnya komunitas; dan tragedi budaya, berupa pelapukan warisan yang bernilai dunia.
Kisah yang terus berlanjut
Kisah umat Buddha di Pakistan menjadi cerita tentang bertahan hidup dalam keterpinggiran. Jumlah mereka makin sedikit, suara makin lemah, dan situs-situs bersejarah yang seharusnya dilestarikan dibiarkan rusak.
Stupa Gandhara kini lebih menjadi penanda kehilangan daripada kejayaan. Selama kondisi komunitas dan situs Buddhis terus diabaikan, warisan tersebut akan tetap berada dalam bayang-bayang, terlupakan dalam sejarah Pakistan modern.
(dna)