Jakarta, CNN Indonesia -- Pengajaran bahasa Indonesia yang baik dan benar bagi anak-anak makin lama makin merosot. Jarang orang tua mengajarkan bahasa Indonesia secara utuh, melainkan dicampur dengan bahasa asing yaitu bahasa Inggris. Memang, bahasa Inggris merupakan bahasa internasional. Tetapi tetap saja bahasa Indonesia adalah identitas yang harus dimiliki oleh anak-anak Indonesia.
Pada era globalisasi seperti sekarang, bahasa Inggris banyak kita temukan di mana saja, baik dalam lagu anak-anak, buku dongeng anak-anak, di tempat perbelanjaan, di tempat umum dan lain sebagainya. Sehingga banyak anak-anak yang kini mengikuti dan menggunakan bahasa Inggris. Mendengar anak kecil berbicara cadel dalam bahasa Inggris, tentunya sangat menggemaskan.
Dulu ketika saya Sekolah Menengah Atas, saya mendapatkan cerita dari guru bahasa Inggris. Guru saya berkunjung ke rumah salah satu temannya yang juga pandai berbahasa Inggris.
Teman guru saya memiliki anak perempuan berusia empat tahun. Namun ketika ditanya dengan bahasa Indonesia, anak tersebut tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh guru saya. Anak itu seperti kebingungan.
Lalu, guru saya bertanya kepada ayahnya, kenapa sang anak tidak menjawab? Ternyata anak itu tidak mengerti bahasa Indonesia, sebab sehari-hari terbiasa berkomunikasi dengan bahasa Inggris.
Kesehariannya hanya bermain di rumah bersama ibunya, dan jika ada yang ingin berkomunikasi dengan anak itu harus menggunakan bahasa Inggris. Dari cerita di atas, sangat disayangkan anak tersebut sama sekali tidak paham dengan bahasa Indonesia, padahal dilahirkan di Indonesia. Mungkin dikarenakan faktor lingkungan yang membuat anak tersebut sulit menerima bahasa Indonesia.
Proses Pemerolehan Bahasa PertamaPemerolehan bahasa merupakan proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa.
Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167).
Hal yang patut dipertanyakan adalah bagaimana strategi si anak dalam memperoleh bahasa pertamanya dan apakah setiap anak memiliki strategi yang sama dalam memperoleh bahasa pertamanya?
Berkaitan dengan hal ini, Dardjowidjojo, (2005:243-244) menyebutkan bahwa pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan bahwa anak di mana pun memperoleh bahasa pertamanya dengan memakai strategi yang sama.
Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini.
Chomsky mengibaratkan anak sebagai wujud yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik: mana yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan wujudnya seperti apa ditentukan oleh input sekitarnya.
Penulis sendiri menghawatirkan dua hal. Pertama, kondisi anak-anak di era globalisasi ini. Kanak-kanak yang mahir berbahasa Inggris mungkin itu bagus, karena sejak dini sudah pintar berbahasa asing. Namun, bila dibiasakan berkomunikasi menggunakan bahasa asing, anak-anak Indonesia akan melupakan bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Orangtua yang mengajarkan bahasa asing kepada kanak-kanak, sebaiknya mempertimbangkan tempat di mana tinggal.
Bahasa yang diajarkan seharusnya bahasa utama yang digunakan di lingkungan yang kita tinggali. Apabila masyarakat lingkungan sehari-harinya menggunakan bahasa Indonesia, maka bahasa itulah yang seharusnya diajarkan. Hal Ini penting sebab anak akan berinteraksi dengan lingkungannya. Jika bahasa yang digunakan di lingkungan itu tidak cocok, maka anak akan mengalami kendala dalam menyampaikan kebutuhannya.
Sebenarnya tidak ada larangan mengajari kanak-kanak bahasa asing. Namun, orangtua harus ingat bahwa porsinya harus sesuai atau seimbang. Jika di lingkungannya diharuskan berbicara Inggris, maka ajarkanlah bahasa tersebut. Jika tidak, maka orangtua harus mengajarkan bahasa ibunya dahulu.
Saya lebih setuju jika orangtua Indonesia mengajarkan bahasa Indonesia kepada kanak-kanak. Bila telah paham dan menguasai bahasa Indonesia, maka barulah orangtua mengajarkan bahasa asing.
Karena setiap anak itu berbeda-beda daya serap mempelajari hal baru, apalagi bahasa asing seperti bahasa Inggris. Penulisan dan pengucapan bahasa Inggris tidak sama, hal tersebut bisa menjadi kendala bagi kanak-kanak dalam mempelajari bahasa tersebut.
Meskipun berasal dari Indonesia lalu ketika bayi dibawa pindah ke luar negeri, karena ada urusan orangtua seperti melanjutkan pendidikan atau bekerja, dan anak tersebut besar di luar negeri, serta mengharuskan anak tersebut menggunakan bahasa asing karena faktor lingkungan dan tempat tinggal. Alangkah baiknya, jika orangtua tetap mengajarkan bahasa Indonesia ketika di rumah. Agar ketika kembali ke Indonesia, sang anak mampu menyesuaikan dengan orang yang diajak bicara.
Kedua, penggunaan kata panggilan. Sekarang banyak yang menggunakan panggilan bahasa Inggris, yaitu ibu menjadi ‘mom’, ayah menjadi ‘dady/dad’, kakek menjadi ‘grandpa’, nenek menjadi ‘grandma’. Serta masih ada panggilan lainnya yang menggunakan bahasa Inggris.
Menurut saya, panggilan tersebut tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Kita terkesan mengagung-agungkan budaya Barat, dengan anggapan panggilan tersebut keren, tidak ketinggalan zaman atau modern. Agar kanak-kanak Indonesia tidak melupakan bahasa Indonesia kelak, dan tetap menjunjung tinggi bahasa persatuan. Serta tidak mencampuradukkan bahasa antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing. Peran orang tualah harus dimainkan, baik sebagai orangtua di rumah maupun sebagai pendidik di sekolah.
(ded/ded)