Karpet Merah 'Islam Radikal' di Aksi Anti Ahok #212

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Senin, 28 Nov 2016 07:56 WIB
Demo anti Ahok tak sekadar gerakan untuk mendesak agar ada penegakan hukum. Lebih dari itu, aksi itu justru membangkitkan benih-benih radikalisme.
Demo anti Ahok tak sekadar gerakan untuk mendesak agar ada penegakan hukum. Lebih dari itu, aksi itu justru membangkitkan benih-benih radikalisme. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sajadah dan koran digelar di jalanan pada suatu siang awal November. Jemaah pria yang mayoritas berpakaian putih duduk bersaf-saf. Mereka bersiap salat Jumat di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, sebelum mengikuti aksi besar yang dikenal sebagai demo #411 karena dilakukan 4 November.

Tiba waktunya khatib naik ke mobil yang dipakai sebagai mimbar. Eggi Sudjana, pengacara sekaligus pendiri Persatuan Pekerja Muslim Indonesia, menyampaikan kutbah Jumat.

Isi ceramahnya menyinggung calon gubernur DKI Jakarta inkumben Basuki Tjahaja Purnama yang dituding menistakan agama. Pemerintah pun dinilai tak taat hukum.

“Kalau Ahok tidak dicopot (sebagai calon gubernur), tidak jadi tersangka, maka ada kekuatan agar hukum tidak ditegakkan,” kata Eggi dalam kutbahnya kala itu.

Tak sampai dua pekan, Ahok jadi tersangka. Demo lanjutan rencana akan kembali digelar pada Jumat, 2 Desember nanti. Kini, para demonstran itu mendesak agar Ahok dipenjara setelah ditetapkan tersangka.

Aksi itu telah menimbulkan polemik.

Salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia mengkritik rencana aksi tersebut. Nahdlatul Ulama mengeluarkan fatwa: salat Jumat di jalan tidak sah.

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj mengatakan, fatwa itu berdasarkan mazhab Imam Syafi’i dan Maliki. Salat Jumat seharusnya di dalam bangunan atau masjid.

“Kalau sengaja keluar rumah mau salat Jumat di jalan, salatnya enggak sah, mengganggu ketertiban dan kepentingan orang lain,” katanya.

Bahkan tokoh NU Mustofa Bisri menyebut salat Jumat di jalan raya saat demo nanti sebagai perbuatan bidah. Dalam sejarah Islam, kata ulama yang akrab disapa Gus Mus, sejak zaman Rasulullah SAW, “Baru kali ini ada bidah sedemikian besar. Dunia Islam pasti heran.”

Mekanisme Hukum

Sementara Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengimbau umat Islam tidak perlu demo lanjutan. Dia meminta masyarakat menyerahkan kasus tersebut kepada mekanisme hukum.

Dia memandang aksi nanti tak terjamin kemaslahatannya, justru kemudaratannya berpeluang lebih besar bagi umat dan bangsa. Meski demikian, Haedar mewanti-wanti arah dan tujuan aksi tidak berbelok ke agenda politik lain.

“Sekali lagi, jangan ikut irama orang dan terprovokasi oleh siapa pun. Di wilayah dan daerah pun tidak perlu aksi demo,” imbaunya saat Refleksi Milad Muhammadiyah ke-104 di Jakarta.

Kasus dugaan penistaan agama terkait ucapan Ahok yang menyitir surat Al-Maidah, terus memicu pro dan kontra. Dua kubu saling silang pendapat, antara kelompok garis keras dan moderat.

Gus Mus mengkritik rencana demonstran anti Ahok dengan menyatakan salat Jumat di jalan adalah bid'ah. Gus Mus mengkritik rencana demonstran anti Ahok dengan menyatakan salat Jumat di jalan adalah bid'ah. (ANTARA FOTO/R. Rekotomo)
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anas Saidi menyebut aksi bela Islam menunjukkan fenomena menguatnya kelompok masyarakat yang memahami agama hanya berdasarkan teks. Gejala itu bukan hanya di kehidupan masyarakat, tapi juga di lingkungan kampus.

“Kalau dilihat pesimisnya, ini gejala warning, bahwa proses Islamisasi di Indonesia ternyata religiusnya tekstualis. Ini benih-benih untuk radikalisasi,” kata Anas.

Dia khawatir, proses Islamisasi yang selama ini tekstualis akan menyuramkan masa depan Indonesia. Kebencian dan fitnah dipertontonkan di ruang publik. Sementara keadaban dan sopan santun tak diutamakan. Hal itu menandakan betapa rendahnya akal sehat.

“Kebenaran yang seharusnya ditegakkan dengan akal sehat kini mengalami penyusutan, setidaknya di dalam ruang publik,” ujar Anas.

Demonstrasi yang seharusnya diwacanakan dengan sopan, adu argumentasi dalam berbeda pendapat, kini berganti dengan pemaksaan kehendak oleh sebagian kecil kelompok. Bagi Anas, ini merupakan teror terhadap demokratisasi.

Di tengah kelompok fundamentalis yang semakin besar, meskipun keberadaannya tidak dominan, Indonesia beruntung memiliki masyarakat yang multikultural. Kelompok moderat, nasionalis, maupun abangan masih hidup di tengah masyarakat.

Negara Islam

Ketua Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina Fuad Mahbub Siraj mengatakan, problem paling mendasar berkembangnya kelompok radikal adalah pengetahuan atau tradisi intelektual yang semakin berkurang dalam masyarakat.

Lemahnya pengetahuan membuat masyarakat awam mudah terpengaruh aliran radikal lantaran didasari wahyu. Ide mendirikan negara Islam, misalnya, tidak dilawan dengan pemahaman yang kuat tentang nasionalisme berketuhanan.

“Mereka yang awam tidak memahami nalar berpikir di dalam wahyu tersebut sehingga mudah untuk dihasut,” katanya.

Selain itu, perkembangan kelompok radikal juga tak lepas dari konteks politik suatu negara.
Demo anti Ahok dinilai sebagai bagian aksi kelompok fundamentalis yang menguatDemo anti Ahok dinilai sebagai bagian aksi kelompok fundamentalis yang menguat. (CNN Indonesia/Joko Panji Sasongko)
Dalam masa transisi demokrasi pasca 1998, militer dikembalikan ke barak dan tak lagi berhadapan dengan sipil. Fuad menyebut, beberapa kelompok radikal sengaja dibentuk dan dibesarkan oleh aparat. Mereka menggantikan peran militer di ranah sipil.

“Tapi pada akhirnya kelompok itu sulit dikontrol sehingga lepas (dari pihak yang membentuknya),” ujarnya.

Pasca reformasi, iklim kebebasan berekspresi ikut memberi ruang bagi tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok intoleran. Mereka secara agresif melakukan intervensi atas berbagai kebijakan negara, bahkan rela menggunakan cara kekerasan.

Suburnya kelompok ini tidak diimbangi dengan kepemimpinan nasional yang kuat sebagai pelindung bagi setiap warga negara, selain untuk menjamin pemenuhan hak-hak warga negara.

Fuad menilai perkembangan kelompok radikal cukup pesat di Indonesia, meskipun jumlahnya masih kecil jika dibanding umat Islam di Indonesia. “Mayoritas masih golongan awam,” katanya.

Sarat Kepentingan

Persoalannya, kelompok radikal makin percaya diri untuk berdiri di atas kaki sendiri karena memiliki kekuatan. Walaupun di belakang layar, kata Fuad, masih ada pihak lain yang mendukung secara finansial maupun intelektual.

“Tidak seperti di awal lagi, sekarang mereka sarat dengan kepentingan, banyak yang memanfaatkan. Nuansa politisnya juga terlalu tinggi,” ujarnya.

Dia meragukan kelompok yang turun aksi sepenuhnya murni karena kepentingan membela Islam dalam kasus penistaan agama oleh Ahok. “Itu belum bisa kita sebut murni (bela Islam) karena sangat kuat nuansa politisnya dalam demo itu,” ujarnya.
Gerakan anti Ahok dinilai tak sekadar mendesak penegakan hukum, tapi juga menjadi persoalan politis.Gerakan anti Ahok dinilai tak sekadar mendesak penegakan hukum, tapi juga menjadi persoalan politis. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Buku Ketidakadilan Dalam Beriman; Hasil Monitoring Kasus-kasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia yang diterbitkan The Indonesia Legal Resources Center (ILRC) mencatat setidaknya ada 37 kasus penistaan agama sejak awal Orde Baru hingga 2012.

Dalam buku itu disebutkan, ada pola yang umum terjadi dalam proses pemidanaan seseorang terkait kasus penistaan agama. Penerapan pasal 156 a umumnya tidak hanya melibatkan aparat penegak hukum dan pelaku, tapi ada keterlibatan aktor lain.

Salah satunya, adalah tekanan kelompok atau ormas intoleran. Tindakan aparat dalam menangani kasus ini diawali protes atau tekanan yang dilakukan kelompok tertentu terhadap pihak yang dianggap menistakan agama.

Fuad menyebut biasanya kasus dugaan penistaan agama lebih banyak bernuansa politik daripada persoalan agama. Bukan hanya terjadi dalam kasus yang menjerat Ahok.

“Kebanyakan yang terjadi memang lebih persoalan politik,” katanya. (asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER