Wajah Miskin Jakarta Bersama atau Tanpa Ahok

CNN Indonesia
Jumat, 13 Jan 2017 09:39 WIB
Kemiskinan di Jakarta jadi masalah penting untuk dihadapi pemimpin baru kelak. Satu masalah utama: kekayaan hanya berputar di tangan segelintir orang.
Kemiskinan di Jakarta jadi masalah penting yang dihadapi pemimpi baru kelak. Satu masalah utama: kekayaan hanya berputar di tangan segelintir orang. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Uut Basuni mungkin tak pernah lupa sejarah keluarganya sebagai nelayan di Kamal Muara, Jakarta Utara. Dia lahir dan tumbuh di kawasan pesisir hingga hari ini. Uut juga akrab dengan hasil tangkapan keluarganya. Mulai dari ikan bandeng hingga kepiting. Tetapi, garis hidup sebagai nelayan, dia tinggalkan 15 tahun lalu.

“Menjadi nelayan sekarang tambah susah,” kata Uut pada satu sore akhir Desember 2016. “Laut semakin tercemar, biaya melaut tambah besar karena menangkap ikan tambah jauh.”

Uut bertubuh kurus dan berkulit sawo matang. Dia duduk di depan warung kecil yang dikelola isterinya, Daimah saat wawancara dilakukan. Usianya 38 tahun dan pekerjaannya kini, tukang ojek.

Kelurahan Kamal Muara terletak di Penjaringan, Jakarta Utara. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai nelayan. Tak jauh dari rumah Uut, ada juga Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kamal. Ada dermaga yang mampu menampung sekitar 200 kapal ikan. Ada pula pasar ikan di dekatnya.

Kemiskinan tampak tak asing di sana.

Ada rumah panggung yang terbuat dari bambu. Sampah yang berserakan. Gang sempit dan rumah yang padat. Tetapi, Kamal Muara tak luput dari perhitungan politik dalam Pilkada DKI Jakarta. Jakarta Utara diperkirakan memiliki sekitar 1,09 juta pemilih dalam pesta demokrasi kali ini.

Hari itu juga, Agus Harimurti Yudhoyono berkampanye.

Rombongan AHY—sapaan Agus—datang dengan sedikitnya dua mobil tipe sport hitam pekat dan pengawalan aparat polisi. Dia tak banyak berbicara, namun hanya berkeliling di gang sempit. Melayani permintaan foto bersama warga. Ada pula isterinya, Annisa Pohan.

“Ih, kayak Barbie ya,” kata salah seorang perempuan.

Pasangan Agus Yudhoyono-Annisa Pohan kerap menjadi daya tarik tersendiri dalam kampanye.Pasangan Agus Yudhoyono-Annisa Pohan kerap menjadi daya tarik tersendiri dalam kampanye.(Timses AHY)

AHY berpasangan dengan Sylviana Murni, seorang mantan birokrat puluhan tahun di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kandidat lain dalam Pilkada kali ini adalah petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan Djarot Saiful Hidayat, serta mantan menteri, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.

Tugas berat para kandidat gubernur itu, sudah menunggu di depan. Jakarta Utara memang jadi satu wilayah dengan jumlah penduduk miskin terbesar dari enam pemerintahan administratif ibu kota.

Sepanjang 2009—2013, jumlah penduduk miskin relatif di wilayah itu meningkat yakni masing-masing 76.200 orang; 92.600 orang, 84.730 orang, 87.200 orang dan 90.900 orang. Wilayah itu penyumbang warga miskin terbesar di Jakarta dengan total 371.700 hingga 2013. Populasi di Jakarta sendiri sedikitnya mencapai 10,07 juta.

Salah satu janji AHY untuk memberantas kemiskinan adalah program Rp1 miliar untuk setiap RW di Jakarta—tanpa detail dari pos mana uang itu akan diambil.

Ada pula pemberdayaan Usaha Kecil Menengah (UKM) hingga membangkitkan pasar tradisional. Dia membantah uang Rp1 miliar adalah kampanye uang.

“Itu program yang kami angkat sebagai bentuk pemberdayaan komunitas,” kata Agus, beberapa waktu lalu. “Itu dari DPRD dan harus ada persetujuan dari DPRD.”

Tetapi, perkataan Uut mungkin tak bisa diabaikan. Nelayan makin susah karena hasil tangkapan yang berkurang.

Data statistik memang menunjukkan penurunan produksi ikan yang dijual dari lima Tempat Pelelangan Ikan di Jakarta. Jumlahnya adalah 238.430 kwintal (2013); 265.977 kwintal (2014); dan 240.348 kwintal (2015). Mungkin, ini tak sekadar soal janji uang Rp1 miliar.

“Ada pembangunan pulau untuk reklamasi. Biaya transportasi nelayan lebih besar,” kata Uut.

Reklamasi di Teluk Jakarta dikritik karena membuat nelayan kehilangan area tangkap.Reklamasi di Teluk Jakarta dikritik karena membuat nelayan kehilangan area tangkap. (CNN Indonesia/Andry Novelino)

Proyek Reklamasi

Reklamasi memang jadi program kontroversial di masa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sejak 2014.

Selain persoalan lingkungan dan kesejahteraan nelayan, proyek itu juga terkait dengan kasus dugaan korupsi terkait dengan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah. Ini diduga untuk menguntungkan para pengembang besar yang menggarap pulau buatan di Jakarta Utara itu.

Reklamasi di Teluk Jakarta dikritik karena lebih mementingkan kepentingan bisnis pengembang. Ahok menyatakan proyek reklamasi 17 pulau justru akan memberikan manfaat—salah satunya, untuk mengatasi pencemaran.

“Cara membatasi kontaminasi logam berat, salah satunya dengan reklamasi,” kata dia pada April 2016.

Namun, tak hanya Uut yang membantah soal ini, melainkan juga Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Bukan sekadar menambah pencemaran, organisasi tersebut juga menganggap proyek yang disokong Ahok itu hanya memiskinkan para nelayan—membuat nelayan lebih jauh melaut dan mengganggu wilayah tangkapan ikan.

“Proyek reklamasi bukanlah solusi untuk pembangunan kota-kota pantai di Indonesia,” kata Ketua Bidang Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan KNTI, Marthin Hadiwinata. “Bukan pula solusi untuk menyejahterakan nelayan.”

Kasus ini masuk ke pengadilan. Setelah PTUN memenangkan gugatan para nelayan pada Mei 2016, Pengadilan Tinggi TUN justru memenangkan banding Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk proyek reklamasi pada Oktober. Belum ada putusan hukum yang mengikat hingga hari ini. Namun, proyek masih berjalan. Pulau buatan sudah nampak di depan mata.

Nelayan yang menolak proyek reklamasi melakukan aksi protes.Nelayan yang menolak proyek reklamasi melakukan aksi protes. (CNN Indonesia/Aghnia Adzkia)

Walaupun demikian, program antikemiskinan Ahok—Djarot lain tetap berjalan. Misalnya pemberdayaan UKM hingga kolaborasi dengan dunia usaha. Khusus untuk kesehatan dan pendidikan, Ahok memaksimalkan penggunaan BPJS serta Kartu Jakarta Pintar.

Namun soal kemiskinan nelayan, Uut atau Marthin bisa jadi tak salah.

Paling tidak, Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta mencatat tingkat kemiskinan sepanjang 2013—2015 di ibu kota yang relatif meningkat. Pada 2013, kemiskinan mencapai 3,55 persen dan meningkat 3,92 persen pada 2014, serta 3,93 persen pada 2015.

“Mereka yang berada di seputaran garis kemiskinan umumnya bekerja di sektor informal,” kata Kepala BPS DKI Jakarta Syech Suhaimi. “Mereka sangat rentan, dapat jatuh ke bawah garis kemiskinan.”

“Menghentikan reklamasi Teluk Jakarta, untuk kepentingan pemeliharaan lingkungan,” demikian janji Anies Baswedan. “Pembangunan pulau reklamasi untuk kepentingan komersial, ditolak.”

Tentu, Anies sekadar berjanji—belum dapat dibuktikan sepenuhnya.

Selain menolak reklamasi, sejumlah program untuk kesejahteraan pasangan Anies-Sandi adalah perumahan murah, percepatan pelayanan air bersih, pendidikan, hingga revitalisasi pasar tradisional.

Soal kesejahteraan yang tak merata di Jakarta, memang tak bisa dipandang sebelah mata.

Anies Baswedan saat melakukan kampanye. Dirinya menolak proyek reklamasi.Anies Baswedan saat melakukan kampanye. Dia juga menyatakan menolak proyek reklamasi untuk kepentingan komersial. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)

Ketimpangan Ekonomi

Yayasan Prakarsa—organisasi yang meneliti soal kesejahteraan— menyatakan ketimpangan pendapatan di Jakarta, tak hanya dari berasal dari faktor individu, tapi juga soal akses yang tak setara. Lembaga itu menegaskan kemiskinan bersifat multidimensional.

Kemiskinan pun tak hanya diukur melalui pengeluaran per kapita saja, melainkan juga dengan standar hidup, kesehatan serta pendidikan. Hingga kini, Indeks Kemiskinan Multidimensi belum dijadikan patokan oleh pemerintah.

“Kemiskinan,” kata Direktur Eksekutif Prakarsa Ah Maftuchan, “Juga menyangkut perbedaan perlakuan terhadap kelompok masyarakat.”

Mungkin perbedaan perlakuan ini tak sepenuhnya salah. Sosok macam Uut bisa jadi tak akan pernah ada dalam laporan Global Wealth Report milik Knight Frank pada 2016.

Laporan itu menyatakan peningkatan persentase orang super kaya di Indonesia—dengan aset US$30 miliar— mencapai 349 persen dalam 10 tahun terakhir, hingga total jenderal adalah 1.096 individu. Ini belum selesai: sebanyak 598 orang berada di Jakarta.

Investasi mereka diperkirakan memuat pelbagai macam. Dari barang-barang antik, anggur, perhiasan, properti, mobil dan sepeda motor, hingga jam.

Laporan dari lembaga multilateral, Bank Dunia, pun jadi kian penting. Penelitian itu menguak soal ketimpangan yang terjadi di Indonesia—termasuk di Jakarta.

Dalam riset yang diluncurkan pada Maret 2016, ketimpangan ditemukan meningkat karena segelintir orang saja yang dapat menikmati pertumbuhan ekonomi—antara lain dengan menguasai aset secara koruptif. Indonesia, demikian Bank Dunia, menempati posisi ketiga sebagai negara yang memiliki ketimpangan tertinggi setelah Rusia dan Thailand, yakni mencapai 50,3 persen.

Salah satu rumah berada di Kelurahan Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara. Sebagian warga hidup dalam kemiskinan di wilayah tersebut.Salah satu rumah di Kelurahan Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara. Sebagian warga hidup dalam kemiskinan di wilayah tersebut. (CNN Indonesia/Anugerah Perkasa)

Kekayaan yang terpusat, berarti juga mendorong ketimpangan yang semakin tinggi.

Lembaga itu menemukan 10 persen warga terkaya, mengonsumsi sama banyak dengan 42 persen warga termiskin pada 2002. Sedangkan pada 2014, 10 persen warga terkaya mengonsumsi sama banyak dengan total konsumsi 54 persen warga termiskin. Awal kehidupan yang tak setara, demikian Bank Dunia, dapat berarti kehidupan yang tak setara pula di masa depan.

“Bagaimana melihat kesejahteraan di sini?” tanya CNNIndonesia.com.

“Tak ada yang berubah drastis.” kata Uut. “Ada yang tetap nelayan, atau berjualan di warung.”

Dia menceritakan harapan atas masa depan kedua anaknya—dengan impian pendidikan yang lebih baik —Inka Ainun Safitri dan Puput Nurul Zahra. Si sulung Ainun sendiri akan menghadapi ujian kelulusan tingkat SMK tahun ini. Tak terasa,  perbincangan sudah 1 jam lebih. Langit di pesisir Jakarta mulai gelap di penghujung Desember. Azan Maghrib berkumandang dari satu musala kecil.

Harapan keluarga Uut Basuni boleh jadi setinggi langit, namun kemiskinan di Kamal Muara, seperti tak ingin beranjak pergi.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER