Jakarta, CNN Indonesia -- Kurang dari sepekan mendekati Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017, terjadi perubahan tren elektabilitas dari tiga pasangan calon yang bertarung.
Paling mutakhir, hasil survei Litbang Kompas pada 28 Januari-4 Februari 2017 menunjukkan bahwa cagub-cawagub nomor urut satu Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni menderita penurunan elektabilitas yang signifikan.
Hasil survei yang dipublikasi Kamis ini (9/2), menempatkan duet Agus-Sylvi pada angka elektabilitas 28,2 persen. Angka tersebut di bawah elektabilitas cagub-cawagub nomor pemilihan dua Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat sebesar 36,2 persen, dan pasangan nomor urut tiga Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang meraup elektabilitas 28,5 persen.
Responden yang belum menentukan pilihannya atau
undecided voters dalam survei ini sebanyak 7,1 persen. Adapun
margin of error sekitar 3,46 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Melorotnya elektabilitas Agus-Sylvi itu kontras dengan hasil survei Litbang Kompas sebelumnya yang digelar pada 7-15 Desember 2016. Ketika itu, atau sebelum digelarnya debat terbuka oleh KPUD Jakarta, elektabilitas Agus-Sylvi berkibar di urutan teratas dengan angka 37,1 persen. Sedangkan Ahok-Djarot bertengger di peringat dua dengan 33 persen, sementara Anies-Sandi paling buncit dengan angka hanya 19,5 persen.
Menilik perbedaan yang signifikan dari hasil survei pada dua periode itu artinya terlihat perubahan pola dukungan masing-masing kandidat. Bagaimana fenomena perubahan itu terjadi?
Direktur Program Indo Riset Konsultan, Bawono Kumoro, memandang survei pilkada yang dilakukan oleh lembaga survei manapun akan selalu dinamis. Dinamika yang terjadi mengacu pada rentang waktu terkait dengan besaran angka
margin of error maupun
undecided voters.Bawono mencermati bila dibandingkan dengan sejumlah hasil survei lembaga lain maka mulai terlihat titik temu menyangkut
margin of error yang berada di kisaran angka 3 koma.
Contohnya bila dibandingkan dengan Charta Politika yang menggelar survei pada 17-24 Januari 2017 dengan angka
margin of error lebih kurang 3,5 persen dan pada tingkat kepercayaan juga sebesar 95 persen. Hasil survei Charta Politika itu menunjukkan bahwa elektabilitas Agus-Sylvi 25,9 persen, Ahok-Djarot 36,8 persen, dan Anies-Sandi 27,0 persen.
Mengacu pada angka
margin of error tersebut belum bisa dipastikan bahwa nantinya hasil pilkada dimenangkan atau diungguli oleh Ahok-Djarot, sementara Anies-Sandi pada peringkat kedua dan Agus-Sylvi terakhir.
Dengan
margin of error yang hanya berada di angka sekitar 3 koma berarti masih sangat mungkin Agus-Sylvi menggeser posisi Anies-Sandi yang hanya beda tipis. Pun Ahok-Djarot masih mungkin juga dipepet bila dengan angka
margin of error sebesar itu nantinya merosot, bukan naik ke angka 39 persen tapi turun ke 33 atau 32 persen, atau bahkan di bawah itu.
“Berdasarkan hasil survei Kompas dan Charta Politika itu tidak bisa dikatakan secara mutlak bahwa hasil pilkada nanti dimenangkan atau Ahok unggul dan Anies-Sandi berada di urutan kedua,” ujar Bawono dalam perbincangan dengan CNNIndonesia.com, Kamis (9/2).
Jadi, kata Bawono, hasil survei Kompas dan Charta Politik yang paling terbaru itu hanya sebatas memberi gambaran atau tren soal siapa calon yang unggul. “Polanya seperti itu. Yang perlu diperhatikan adalah soal angka
margin of error dan angka
undecided voters.”
Pengamat politik dari Universitas Indonesia Chusnul Mariyah menganggap terjadi perubahan pola dukungan masing-masing calon sebagai hal yang sangat biasa. Apalagi perubahan terjadi mendekati hari H pelaksanaan pilkada.
Perubahan elektabilitas pada hasil survei Litbang Kompas teranyar yang menjungkalkan elektabilitas Agus-Sylvi dipengaruhi oleh sejumlah hal seperti responden yang belum menentukan pilihannya (undecided voters), faktor kampanye, penajaman program-program setiap pasangan calon, dan banyak hal lainnya. “Ada banyak variabelnya termasuk seperti menemui warga dan penampilan calon,” ujar Chusnul kepada CNNIndonesia.com, Kamis (9/2).
Ketua Program Studi Ilmu Politik, Pascasarjana, FISIP Universitas Indonesia, itu menambahkan hasil survei tidak bisa dijadikan pegangan untuk hasil penghitungan pilkada. Semuanya bisa berubah karena memang belum hari H. "Yang jelas dan sangat perlu diperhatikan yaitu pada masa tenang jelang pilkada dilarang merilis hasil survei karena bakal mempengaruhi persepsi publik.”
(obs)