Jakarta, CNN Indonesia -- Tensi politik DKI Jakarta diperkirakan menurun setelah pemilihan kepala daerah DKI 2017. Berbagai aksi, termasuk demonstrasi, bahkan kegaduhan dinilai tak laku lagi jika terus menerus ditawarkan setelah waktu pencoblosan.
Pakar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia Hamdi Muluk berpendapat, masyarakat terutama warga Jakarta akan merasa jenuh jika aksi-aksi sebelum pilkada kembali dilakukan. Publik dinilai akan mulai mempertanyakan kepentingan aksi setelah pilkada.
"Kan semakin kontraproduktif. Orang malah sibuk meneriakkan kebencian, bertengkar urusan yang tidak perlu. Masih banyak pekerjaan yang jauh lebih penting dari demo,” ujar Hamdi ketika berbincang dengan CNNIndonesia.com, Senin (13/2).
Masyarakat cerdas, kata Hamdi, akan mulai mempertanyakan aktor politik atau pihak-pihak berkepentingan apabila demo dilanjutkan, bahkan setelah Jakarta memiliki gubernur terpilih.
"Siapa yang ambil keuntungan dari isu ini? Yang jelas ini kan memanas karena ada pilkada," tuturnya.
Di sisi lain, menurut Hamdi, perkara dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang kembali memcalonkan diri dalam pilkada tak bisa jadi dasar aksi setelah pilkada.
Hamdi menegaskan, perkara ini sudah ditangani aparat hukum bahkan sudah masuk ke pengadilan.
"Publik akan marah karena aktor politik ini yang terus menerus ribut soal peradilan penistaan agama ini karena dinilai ngeyel dan memaksakan kehendak," tuturnya.
Rabu besok, 15 Februari 2017 akan dilaksanakan 101 pemilihan kepala daerah di Indonesia. Pilkada DKI Jakarta menjadi perhatian khusus karena selain menjadi barometer politik nasional, salah satu kandidatnya yaitu Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat ini menjadi terdakwa dugaan kasus penistaan agama.
Kasus yang menimpa Ahok itu memunculkan gerakan-gerakan aksi dari sejumlah elemen masyarakat agar sang petahana tersebut segera ditahan.
Sebelumnya, SETARA Institute menyerukan pilkada damai, berkualitas, dan berintegritas.
“Pilkada adalah pesta demokrasi yang sama sekali tidak beralasan untuk menceraiberaikan kita sebagai anak bangsa yang terikat dalam satu kesatuan yakni bangsa Indonesia, bangsa yang majemuk, toleran, rukun, dan damai,” ujar Ketua Badan Pengurus SETARA Institute Hendardi dalam keterangan tertulisnya, kemarin.