Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kembali akan menggusur sejumlah permukiman warga pada April mendatang. Tiga permukiman yang rencananya digusur terletak di kawasan Bukit Duri, Cawang, dan Cipinang Melayu.
Ketiganya merupakan permukiman yang berdiri di bantaran sungai. Hal itu disampaikan oleh Kepala Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta Teguh Hendrawan pada Rabu (1/3).
Teguh juga mengatakan bahwa Pemprov DKI telah menyiapkan dana dan 800 unit rumah susun untuk menampung warga korban penggusuran.
Sejumlah pengamat politik menilai penggusuran yang dilakukan pada masa Pilkada DKI sedikit banyak mempengaruhi elektabilitas pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Djarot Saiful Hidayat.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia Aditya Perdana meyakini rencana penggusuran tersebut, jika dilaksanakan sebelum pemungutan suara Pilkada DKI putaran dua, akan dijadikan senjata untuk menyerang Ahok-Djarot. Hal itu dianggap wajar dilakukan dalam masa kampanye.
"Masing-masing pihak saat ini sedang mencari celah untuk menyerang lawan. Jadi wajar jika Anies-Sandi akan menjadikan ini sebagai senjata menyerang Ahok. Toh, Ahok-Djarot juga akan mencari celah untuk menyerang Anies," kata Aditya kepada
CNNIndonesia.com, Senin (6/3).
Aditya mengaku tidak bisa memprediksi apakah rencana penggusuran tersebut akan berpengaruh negatif atau positif terhadap Ahok-Djarot. Isu penggusuran memang menjadi bola liar karena akan sangat bergantung pada cara masing-masing calon mengomunikasikan ke publik.
Meski penggusuran bukan kebijakan populer, lanjut Aditya, tetapi hal itu tak serta merta berdampak negatif bagi Ahok-Djarot.
Alih-alih merugikan, Aditya justru menyebut kebijakan penggusuran sangat mungkin mendongkrak citra Ahok di mata masyarakat. Indikasinya tercermin dari hasil survei sejumlah lembaga yang menyebut warga Jakarta puas dengan kinerja Ahok-Djarot.
Survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) yang dirilis 20 Oktober 2016, misalnya, menemukan sebanyak 75 persen dari 810 responden mengaku puas dengan kinerja Ahok sebagai Gubernur DKI.
Hal serupa juga tercermin dari hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis November 2016 atau saat kampanye Pilkada DKI putaran pertama.
Saat itu, dari 798 responden yang merupakan warga Jakarta, sebanyak 69 persen di antaranya menyatakan puas dengan kinerja Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Ahok sudah sejak jauh hari menyatakan tak takut popularitasnya bakal anjlok lantaran kebijakan penggusuran. Hal itu ia buktikan saat menggusur permukiman di kawasan Bukit Duri pada September 2016, menjelang Pilkada DKI.
"Kami tidak peduli jabatan atau popularitas. Saya enggak peduli. Yang penting orang harus kenang saya, kalau saya tidak terpilih lagi pun, orang akan melihat, saya yang membereskan Kampung Pulo dan Bukit Duri," kata Ahok di Balai Kota, Rabu (28/9).
 Ahok tetap mendapat sambutan hangat dari warga saat blusukan di kampanye Pilkada DKI putaran pertama. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A) |
Menurut Aditya, warga Jakarta bisa saja mengapresiasi kebijakan penggusuran karena mereka memandang kebijakan tersebut sebagai solusi mengatasi masalah banjir. "Mereka ini (yang mengapresiasi) biasanya dari kelas menengah," ujarnya.
Meski demikian, Aditya meyakini kebijakan penggusuran tak banyak memengaruhi peluang Ahok-Djarot memenangkan Pilkada DKI putaran kedua. Pengaruh isu penggusuran tak sebesar kasus dugaan penistaan agama.
"Lagipula isu ini sudah dimainkan sejak lama, bahkan sejak sebelum masa kampanye. Tetapi itu tak mampu menjegal Ahok di Pilkada DKI," kata dia.
Permainan IsuSementara itu Direktur Pelaksana sekaligus peneliti dari Manilka Institute, Dani Akhyar berpendapat kelemahan kebijakan penggusuran terletak pada aspek kemanusiaan.
Dani merujuk pada hasil penelitian LBH Jakarta yang dipublikasi Desember 2016 lalu. Dalam laporan penelitian berjudul
Mereka yang Terasing, LBH Jakarta menemukan banyak pelanggaran kemanusiaan dalam proses penggusuran di sejumlah kawasan ibu kota.
Pelanggaran tersebut antara lain: ketiadaan musyarawah, kekerasan fisik dan verbal oleh aparat, kerusakan harta benda, serta ketiadaan akses bantuan hukum bagi korban penggusuran.
Penelitian LBH juga membandingkan kondisi rumah lama korban penggusuran dengan rumah susun yang menjadi hunian mereka setelah tergusur. Meski mengaku lebih layak huni, namun warga secara umum menyebut hunian baru tidak cukup menjamin kesejahteraan hidup mereka.
"Hanya 36 persen warga yang mengaku bahwa perwakilan pemerintah mengadakan musyawarah yang seimbang dengan mereka sewaktu akan melaksanakan penggusuran. Sementara, 63,4 persen warga menyatakan perwakilan pemerintah sama sekali tidak pernah mengadakan musyawarah yang seimbang," demikian hasil penelitian LBH Jakarta.
Selain itu, sebagian warga korban penggusuran mengeluh kesulitan akses terhadap pekerjaan dan berbagai fasilitas publik. Hambatan tersebut, berdasarkan laporan penelitian LBH Jakarta, membuat warga mengalami penurunan kondisi kesejahteraan.
Dalam konteks itu, menurut Dani, pengaruh penggusuran bisa berdampak negatif jika Anies-Sandi mengeksploitasi dari sisi kemanusiaan.
"Ini yang harus diperhatikan Ahok. Bahwa secara tata kota, penggusuran memang bisa dipahami. Tetapi dari segi kemanusiaan, penggusuran akan berpengaruh negatif. Ahok harus mengubah cara menggusur yang selama ini kerap dinilai tidak manusiawi," ujar Dani.
Di sisi lain, penggusuran juga bisa berdampak positif jika Ahok-Djarot mampu mengemasnya menjadi cerita sukses penggusuran.
"Misal, penggusuran ternyata mengurangi titik banjir, atau membuat lingkungan menjadi lebih baik. Ini sisi positif yang bisa diangkat dan dimaksimalkan," kata Dani.
Berangkat dari pertimbangan itu, Dani menyebut efek penggusuran terhadap elektabilitas Ahok-Djarot pada akhirnya ditentukan pada kelihaian masing-masing pasangan calon dalam memengaruhi persepsi masyarakat.
"Jadi, jika dikaitkan dengan Pilkada, isu penggusuran ini bergantung pada bagaimana masing-masing calon mengemas isu itu dan berusaha menjadikannya sebagai isu yang dominan," ujar Dani.
(rdk)