Antitesis Anies-Sandi untuk Reklamasi Jakarta

CNN Indonesia
Selasa, 21 Mar 2017 13:34 WIB
Anies-Sandi menilai, pulau reklamasi yang telah mengantongi izin operasional ilegal lantaran tidak didasari KLHS dan Amdal yang memadai.
Aktivitas proyek pembangunan Pulau G kawasan reklamasi Teluk Jakarta di Pantai Utara Jakarta, Selasa, 5 April 2016. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat memiliki Emmy Hafild, mantan Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara, untuk mendukung rencana melanjutkan reklamasi Jakarta. Anies Baswedan-Sandiaga Uno disokong Bambang Widjojanto, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019.

Bagi para pegawai KPK, Bambang dikenal bersuara keras menolak reklamasi sejak masih menjabat pimpinan. Salah satu alasan dia mendukung Anies-Sandi juga lantaran pasangan ini menjanjikan menghentikan reklamasi jika terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur periode 2017-2022.

Sejumlah alasan penghentian reklamasi dibeberkan Anies maupun Sandi dalam berbagai kesempatan masa kampanye putaran pertama. Dalam situs jakartamajubersama.com, proyek reklamasi dinilai harus dihentikan lantaran bertujuan komersial dan dianggap merugikan sekitar 15 ribu nelayan di Teluk Jakarta.

Anggota Dewan Pakar Anies-Sandi, Reiza Patters menjelaskan, reklamasi tidak menyelesaikan persoalan apapun di Jakarta.

"Justru menambah persoalan seperti banjir. Jadi dia tidak menjadi solusi permasalahan di Jakarta yang sebetulnya lebih perlu dikerjakan dan tidak berpihak pada publik kebanyakan," kata Reiza kepada CNNIndonesia.com.

Dari rencana 17 pulau, sudah ada empat pulau yang dibangun yaitu C, D, G, dan N. Pulau C dan D digarap PT Kapuk Naga Indah, anak perusahaan PT Agung Sedayu Group; Pulau G digarap PT Muara Wisesa Samudra sebagai anak perusahaan PT Agung Podomoro Group; dan Pulau N digarap PT Pelindo II yang menjadi Pelabuhan Kalibaru atau New Tajung Priok.
Empat pulau lain yang telah mengantongi izin pelaksanaan sehingga pengembang boleh mulai menimbun tanah di lokasi tersebut adalah F, H, I, dan K. Pulau F dipegang oleh PT Jakarta Propertindo, Pulau H dikembangkan oleh PT Taman Harapan Indah, dan Pulau I serta K dikerjakan oleh PT Pembangunan Jaya Ancol.

Untuk pulau lainnya, A, B, E, J, L, M, O, P, dan Q, belum bisa mulai dikembangkan karena baru memegang izin prinsip, dan belum mengantongi izin operasional.
Antitesa Anies-Sandi untuk Reklamasi Jakarta
Terhadap pulau-pulau yang telah mengantongi izin operasional, Reiza menilai, izin itu ilegal lantaran tidak didasari kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang memadai.

Masih ditambah lagi dengan ketiadaan peraturan daerah tentang zonasi. Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKI tahun 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategies Pantai Utara Jakarta hingga kini masih bergulir di DPRD DKI.
"Karena itu sangat mungkin dihentikan, dan harus malah. Karena izin operasional pembangunan yang diterbitkan gubernur, tidak mengikuti peraturan di atasnya," kata Reiza.

Reiza mengacu pada lima peraturan yang disebut dilanggar Ahok. Kelima peraturan itu adalah UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang telah diubah menjadi UU Nomor 1/2014; UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; dan Perpres 54/2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur.

Permen PU No 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan dan PerMenLH No 05/2012 Tentang Jenis Rencana Usaha dan atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Janji Anies-Sandi untuk menghentikan reklamasi Jakarta memang antitesis atas sikap Ahok-Djarot.

Nasib Pulau Reklamasi

Selain kontroversi soal aturan, Reiza menjelaskan, reklamasi menimbulkan dampak lingkungan, terutama bagi perairan sekitar Teluk Jakarta. "Kalau dihentikan dampak lingkungannya sih mudah-mudahan tidak ada ya, kalau dilanjutkan justru dampak lingkungannya parah," kata Reiza.
Menurut Reiza, saat ini nelayan paling merasakan dampak reklamasi. Salah satunya adalah rute melaut yang menjadi jauh lantaran harus mengitari pulau G. Ditambah sirkulasi air laut tidak berjalan.

Tak hanya itu, Pulau C, D dan G yang sudah rampung proses reklamasinya disebut membuat ikan-ikan di sekitarnya mati karena efek penimbunan tanah dan sedimentasi lumpur yang membawa racun.

"Ini bukan cuma nelayan yang ngomong tapi penelitan KKP itu menyebutkan daerah itu banyak ikan. Banyak wilayah pencarian ikan nelayan bergeser, wilayah melautnya jadi jauh," katanya.

Di antara 17 pulau yang menjadi proyek reklamasi Teluk Jakarta, terdapat satu pulau yang seringkali menjadi sorotan di media massa, yakni Pulau G.
Antitesa Anies-Sandi untuk Reklamasi Jakarta
Pulau garapan PT Muara Wisesa Samudra itu menjadi polemik lantaran lokasinya yang berada di kawasan Muara Angke, serta harus menghadapi serangkaian gugatan yang dilancarkan koalisi nelayan penolak reklamasi.

"Kenapa Pulau G menjadi sorotan karena memang sudah ada dampak langsung," kata Reiza.

Tetapi Reiza menolak jika hanya Pulau G yang paling menjadi sorotan. Buktinya hingga kini, proses gugatan pulau-pulau lain seperti pulau I, F dan K masih terus berjalan.

Dia juga turut mengomentari pembangunan Pulau C dan D yang masih terus berjalan. Bangunan yang nanti berdiri di atas kedua pulau tersebut berstatus liar dan tidak bisa diterbitkan izin mendirikan bangunan karena tidak memenuhi AMDAL, KLHS, dan zonasi.
Menurut Reiza, tak ada dampak hukum yang timbul jika proyek reklamasi dihentikan. Padahal dalam proyek itu, banyak pengembang yang sudah menjalankan perjanjian dengan Pemprov DKI.

"Karena proyek ini melanggar aturan sejak awal. Jadi jika dihentikan, tidak masalah," kata Reiza.

Perjanjian Pemprov DKI dengan pengembang disebut melanggar Perda Nomor 8 Tahun 1995. Sebabnya dalam proyek itu, tidak dilakukan oleh badan pelaksana reklamasi dan tidak ada persetujuan dari DPRD.

Reiza menyebut, Kementerian Lingkungan Hidup sebenarnya bisa berperan penting untuk penghentian reklamasi Teluk Jakarta dengan mengacu pada kajian AMDAL dan KLHS tahun 2003.

Alih-alih dampak hukum yang dihadapi jika reklamasi dihentikan, pulau yang sudah terlanjur berdiri di Teluk Jakarta, dapat dibangun berbagai fasilitas publik. Karena, Reiza mengakui, pulau-pulau yang sudah dibangun, sulit untuk dihancurkan kembali.

"Kalau kita bongkar, makin bertambah efek pencemarannya, naikin lumpur lagi. belum lagi biayanya," kata dia.
Walau belum ada perhitungan secara biaya maupun teknis, Reiza menilai, membangun fasilitas publik jauh lebih masuk akal dibanding menghancurkan pulau yang sudah ada.

"Karena sejauh yang kami pahami, jika itu dibongkar lagi akan jauh lebih berbahaya lagi merusaknya," tuturnya.

Reiza membayangkan beberapa fasilitas publik yang dapat dinikmati berupa pusat konservasi mangrove, pelabuhan ikan sementara hingga pantai gratis bagi warga Jakarta.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER