Menyingkap Problem Mendasar Program Rumah Murah

CNN Indonesia
Sabtu, 15 Apr 2017 15:30 WIB
Program rumah murah di Jakarta memang terasa manis didengar. Namun, di balik program tersebut, ada persoalan mendasar yang harus diatasi terlebih dulu.
Pembangunan rumah murah di Jakarta sulit terwujud tanpa keberanian melakukan reforma agraria di ibu kota. (Antara Foto/Aditya Pradana Putra)
Jakarta, CNN Indonesia -- Rumah murah didambakan oleh hampir semua orang. Terlebih jika rumah murah itu berlokasi di Jakarta, tempat yang selama ini dikenal tidak ramah dengan wacana rumah murah untuk rakyat.

Hal itulah yang mungkin membuat program rumah murah dengan uang muka atau down payment 0 persen yang digagas pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, mendapat tanggapan luas.

Banyak orang mengapresiasi. Tetapi tak sedikit yang melontarkan kritik.

Mereka yang mengkritik program rumah Anies-Sandi tak hanya berasal dari pendukung Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Kritik juga datang dari kalangan pengamat hingga aktivis lembaga swadaya masyarakat. 

Bagi mereka, program rumah murah di Jakarta yang diajukan Anies-Sandi tak lebih dari penyederhanaan masalah. Anies-Sandi disebut melupakan sejumlah persoalan mendasar terkait pengadaan rumah murah di Jakarta.
Salah satu yang paling mendasar adalah fakta harga lahan di Jakarta yang dari tahun ke tahun terus merangkak naik.

Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan, saat ini ketersediaan hunian rumah, di luar rusun di Jakarta yang dibangun oleh pengembang mustahil ditemukan.

Ali berkata, ketiadaan hunian rumah di DKI disebabkan oleh pesatnya pembangunan di seluruh kawasan yang menyebabkan harga tanah melambung tinggi.

Pernyataan Ali itu berdasarkan riset topografi harga tanah di Jakarta yang dilakukan oleh lembaganya pada tahun ini. Dalam risetnya, IPW menyebut terjadi tren peningkatan harga tanah di kawasan Jakarta.
Pertumbuhan harga di kawasan Jakarta Timur merupakan yang tertinggi selama tiga tahun terakhir dengan tingkat pertumbuhan sebesar 5,58 persen. Kemudian disusul oleh Jakarta Selatan (4,67 persen), Jakarta Pusat (4,19 persen), Jakarta Barat (4,15 persen), dan Jakarta Utara (2,85 persen).

Harga tanah di Jaktim berdasarkan riset IPW berkisar Rp1,9 hingga Rp24,3 juta per meter persegi atau dengan harga rata-rata senilai Rp7,9 juta. Untuk harga tanah di Jakbar disebutkan berkisar dari Rp2,8 hingga Rp26,7 juta per meter persegi dengan harga rata-rata senilai Rp13,2 juta.

Sementara harga tanah di Jakarta Utara tahun ini berkirsar Rp1,7 hingga Rp38, juta per meter persegi, Jakarta Selatan berkisar Rp5,3 hingga Rp80,9 juta per meter persegi, dan Jakarta Pusat berkisar Rp8,3 hingga 77,1 juta per meter persegi.

Menurut Ali, tingginya harga tanah di Jakarta membuat pengembang swasta memilih membangun hunian khusus dengan pasar kelas menengah ke atas.
Menyibak Problem Mendasar Program Rumah Murah di JakartaRumah murah di Jakarta dianggap sulit diwujudkan selama tidak ada perubahan kebijakan dari pemerintah menyangkut pengadaan hunian untuk warga. (Antara Foto/Aditya Pradana Putra)

Intervensi Pemerintah

Adapun soal program rumah murah yang dijanjikan oleh para cagub dan cawagub, menurut Ali, hanya bisa terwujud jika Pemda DKI melakukan intervensi dalam penyediaan lahan. Dalam proses itu, Pemda dituntut untuk membagi skema dengan pengembang swasta dalam rangka menyediakan hunian bagi warga DKI.

“Rumah murah untuk kelas menengah ke bawah itu harus ada intervensi pemerintah. Jadi dipisahkan dahulu, apakah untuk public housing atau bukan,” kata Ali kepada CNNIndonesia.com.

Ali menuturkan, pembagian skema yang dimaksud adalah terkait dengan jenis bangunan dan pasar dari hunian yang digarap oleh Pemda DKI dan swasta.

Dalam skema itu, Pemda DKI dituntut berperan sebagai penyedia lahan sekaligus kontraktor hunian kelas menengah ke bawah dengan harga berkisar Rp300 jutaan. Sementara swasta berhak membangun hunian bagi kelas atas dengan harga tersendiri.

Ali tidak memungkiri, dampak dari pembagian segmen tersebut akan menimbulkan persaingan antara swasta dengan Pemda DKI dalam rangka menyediakan hunian.
Untuk mencegah konflik akibat persaingan, ia mengingatkan Pemda DKI tidak bertindak sepihak kepada swasta. Sebab, menurutnya, penyediaan hunian tidak hanya untuk memenuhi hak warga DKI semata, melainkan juga untuk keperluan bisnis.

“Jadi jangan musuhi pengembang seolah-olah jahat. Ini bisnis dan pemerintah tidak bisa menahannya,” ujarnya.

Ali menambahkan, mengingat tingginya harga dan ketersediaan lahan, hunian murah yang masuk akal dibangun oleh Pemda DKI ke depan adalah rusun. Bangunan rusun tersebut juga tidak bisa dipungkiri hanya bisa dibangun di kawasan yang harga tanahnya relatif murah, seperti di Jakarta Timur atau Jakarta Barat.

“Solusi lain adalah menggunakan tanah yang tidak terpakai milik BUMN atau BUMD yang tersebar di Jakarta,” ujar Ali.

Monopoli Pengembang

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika menyatakan, untuk menyediakan hunian murah bagi Jakarta, pemerintah harus terlebih dulu mengontrol praktik bisnis yang dijalankan oleh pengembang properti di Jakarta.

Kontrol dibutuhkan karena dominannya pengembang sebagai aktor penyedia properti rumah. Dominasi tersebut, kata Dewi, berdampak pada monopoli harga properti dan tanah di Jakarta.

Tak hanya itu, dominasi pengembang properti dalam penyediaan hunian juga telah memupuskan harapan warga berpenghasilan rendah dan pas-pasan di Jakarta untuk memiliki tempat tinggal sendiri, tanpa menyewa dari pihak lain.

“Rumah murah itu impian semua warga. Harga rumah harus dikontrol negara, bukan diserahkan ke pasar,” ujar Dewi kepada CNNIndonesia.com.
Dewi menerangkan, salah satu strategi pengembang properti yang secara nyata membuat harga tanah dan perumahan merangkak naik adalah statergi land bank, yakni dengan membeli tanah sebanyak mungkin yang tersebar di Jakarta atau sekitarnya untuk kemudian dibangun perumahan, apartemen, dan perkantoran.

Strategi itu, kata Dewi, telah berlangsung sejak lama dan membuat warga yang tinggal di DKI, khususnya kelas menengah ke bawah tidak dapat memiliki tempat tinggal sendiri.

Lebih lanjut, Dewi menyarankan negara harus melakukan reformasi agraria di Jakarta untuk mengatasi tingginya harga tanah dan monopoli harga properti.

“Jika pemerintah DKI mau melakukan perubahan struktur pertanahan di kota yang pro rakyat miskin, maka jalankan dengan cara urban land reform,” ujarnya.

Urban land reform, lanjut Dewi, bisa dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya mengembangkan wilayah masyarakat atau revitalisasi wilayah dan penataaan lokasi baru dengan tajuk lokasi kepentingan umum.

Sementara itu, menanggapi soal program rumah murah yang ditawarkan oleh para calon gubernur dan wakil gubernur DKI, Dewi menilai hal tersebut masih parsial. 
Menyibak Problem Mendasar Program Rumah Murah di JakartaRumah susun masih menjadi program yang dianggap realistis selama tak ada perubahan kebijakan yang radikal dari pemerintah terkait masalah tanah dan perumahan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Program Reforma Agraria

Program yang parsial itu karena para calon tidak mempertimbangkan tingginya angka ketimpangan struktur agraria yang hanya bisa diatasi lewat reformasi agraria. Di sisi lain, kata Dewi, belum ada satu pun calon pemimpin Jakarta yang berani menyatakan bakal melakukan reformasi agraria di ibu kota.

Reformasi agraria adalah program penting. Sebab Jakarta, menurut Dewi, harus memiliki tata ruang yang mampu menjamin struktur masyarakatnya yang beragam, mulai dari kelas miskin, menengah, hingga kaya.

Dewi berkata, keberagaman struktur masyarakat itu tumbuh dari relasi antara desa dengan kota.
Salah satu yang menciptakan relasi itu adalah menyusutnya lahan garapan masyarakat di pedesaan akibat pembangunan yang masif. Para petani yang kehilangan lahan itu akhirnya mulai mengincar kota, terutama Jakarta, sebagai tanah harapan untuk mengubah nasib.

“Mereka tinggal menjadi warga kelas dua di Jakarta. Mereka hidup di pabrik sebagai buruh atau menjadi pekerja di sektor informal dengan penghasilan pas-pasan. Lainnya menggelandang di sudut sisa dan suram ibu kota, dianggap warga liar, serta perusak pemandangan kota Jakarta yang megah,” ujar Dewi.

Dewi berharap, siapapun sosok yang terpilih nanti bisa melakukan reformasi agraria untuk menyelesaikan masalah tempat tinggal bagi warga kelas menengah ke bawah. Dia menyebut, dominasi pasar dan niat politik dalam mengelola tata ruang Jakarta harus terus mendapat pengawasan serius.

“Tata ruang dan peruntukan tanah di Jakarta haruslah berkeadilan, tidak boleh diskriminatif terhadap masyarakat menengah ke bawah,” ujarnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER