Pertumbuhan harga di kawasan Jakarta Timur merupakan yang tertinggi selama tiga tahun terakhir dengan tingkat pertumbuhan sebesar 5,58 persen. Kemudian disusul oleh Jakarta Selatan (4,67 persen), Jakarta Pusat (4,19 persen), Jakarta Barat (4,15 persen), dan Jakarta Utara (2,85 persen).
Dalam skema itu, Pemda DKI dituntut berperan sebagai penyedia lahan sekaligus kontraktor hunian kelas menengah ke bawah dengan harga berkisar Rp300 jutaan. Sementara swasta berhak membangun hunian bagi kelas atas dengan harga tersendiri.
Ali tidak memungkiri, dampak dari pembagian segmen tersebut akan menimbulkan persaingan antara swasta dengan Pemda DKI dalam rangka menyediakan hunian.
Untuk mencegah konflik akibat persaingan, ia mengingatkan Pemda DKI tidak bertindak sepihak kepada swasta. Sebab, menurutnya, penyediaan hunian tidak hanya untuk memenuhi hak warga DKI semata, melainkan juga untuk keperluan bisnis.
“Jadi jangan musuhi pengembang seolah-olah jahat. Ini bisnis dan pemerintah tidak bisa menahannya,” ujarnya.
Ali menambahkan, mengingat tingginya harga dan ketersediaan lahan, hunian murah yang masuk akal dibangun oleh Pemda DKI ke depan adalah rusun. Bangunan rusun tersebut juga tidak bisa dipungkiri hanya bisa dibangun di kawasan yang harga tanahnya relatif murah, seperti di Jakarta Timur atau Jakarta Barat.
“Solusi lain adalah menggunakan tanah yang tidak terpakai milik BUMN atau BUMD yang tersebar di Jakarta,” ujar Ali.
Monopoli Pengembang
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika menyatakan, untuk menyediakan hunian murah bagi Jakarta, pemerintah harus terlebih dulu mengontrol praktik bisnis yang dijalankan oleh pengembang properti di Jakarta.
Kontrol dibutuhkan karena dominannya pengembang sebagai aktor penyedia properti rumah. Dominasi tersebut, kata Dewi, berdampak pada monopoli harga properti dan tanah di Jakarta.
Tak hanya itu, dominasi pengembang properti dalam penyediaan hunian juga telah memupuskan harapan warga berpenghasilan rendah dan pas-pasan di Jakarta untuk memiliki tempat tinggal sendiri, tanpa menyewa dari pihak lain.
“Rumah murah itu impian semua warga. Harga rumah harus dikontrol negara, bukan diserahkan ke pasar,” ujar Dewi kepada
CNNIndonesia.com.
Dewi menerangkan, salah satu strategi pengembang properti yang secara nyata membuat harga tanah dan perumahan merangkak naik adalah statergi
land bank, yakni dengan membeli tanah sebanyak mungkin yang tersebar di Jakarta atau sekitarnya untuk kemudian dibangun perumahan, apartemen, dan perkantoran.
Strategi itu, kata Dewi, telah berlangsung sejak lama dan membuat warga yang tinggal di DKI, khususnya kelas menengah ke bawah tidak dapat memiliki tempat tinggal sendiri.
Lebih lanjut, Dewi menyarankan negara harus melakukan reformasi agraria di Jakarta untuk mengatasi tingginya harga tanah dan monopoli harga properti.
“Jika pemerintah DKI mau melakukan perubahan struktur pertanahan di kota yang pro rakyat miskin, maka jalankan dengan cara
urban land reform,” ujarnya.
Urban land reform, lanjut Dewi, bisa dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya mengembangkan wilayah masyarakat atau revitalisasi wilayah dan penataaan lokasi baru dengan tajuk lokasi kepentingan umum.
Sementara itu, menanggapi soal program rumah murah yang ditawarkan oleh para calon gubernur dan wakil gubernur DKI, Dewi menilai hal tersebut masih parsial.
 Rumah susun masih menjadi program yang dianggap realistis selama tak ada perubahan kebijakan yang radikal dari pemerintah terkait masalah tanah dan perumahan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Program Reforma AgrariaProgram yang parsial itu karena para calon tidak mempertimbangkan tingginya angka ketimpangan struktur agraria yang hanya bisa diatasi lewat reformasi agraria. Di sisi lain, kata Dewi, belum ada satu pun calon pemimpin Jakarta yang berani menyatakan bakal melakukan reformasi agraria di ibu kota.
Reformasi agraria adalah program penting. Sebab Jakarta, menurut Dewi, harus memiliki tata ruang yang mampu menjamin struktur masyarakatnya yang beragam, mulai dari kelas miskin, menengah, hingga kaya.
Dewi berkata, keberagaman struktur masyarakat itu tumbuh dari relasi antara desa dengan kota.
Salah satu yang menciptakan relasi itu adalah menyusutnya lahan garapan masyarakat di pedesaan akibat pembangunan yang masif. Para petani yang kehilangan lahan itu akhirnya mulai mengincar kota, terutama Jakarta, sebagai tanah harapan untuk mengubah nasib.
“Mereka tinggal menjadi warga kelas dua di Jakarta. Mereka hidup di pabrik sebagai buruh atau menjadi pekerja di sektor informal dengan penghasilan pas-pasan. Lainnya menggelandang di sudut sisa dan suram ibu kota, dianggap warga liar, serta perusak pemandangan kota Jakarta yang megah,” ujar Dewi.
Dewi berharap, siapapun sosok yang terpilih nanti bisa melakukan reformasi agraria untuk menyelesaikan masalah tempat tinggal bagi warga kelas menengah ke bawah. Dia menyebut, dominasi pasar dan niat politik dalam mengelola tata ruang Jakarta harus terus mendapat pengawasan serius.
“Tata ruang dan peruntukan tanah di Jakarta haruslah berkeadilan, tidak boleh diskriminatif terhadap masyarakat menengah ke bawah,” ujarnya.