Buleleng, CNN Indonesia -- Bali memang tak pernah kekurangan penulis bagus, satu di antaranya Kadek Sonia Piscayanti. Wanita berusia 31 tahun ini terkenal
ekstrim di setiap karyanya. Namanya selalu melekat dengan gaya penulisan yang kontroversial.
Dalam setiap cerpennya, perempuan yang juga dosen di jurusan Bahasa Inggris pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Singaraja ini memang selalu membuat karya cerpen yang memiliki kesan harapan dan impian namun turut dihantui dengan kecemasan, ketakutan, dan kehampaan.
Saking
ekstrimnya, cerpen karya Sonia bahkan kerap kali ditolak untuk dimuat di banyak media. Salah satunya cerpen berjudul "Tetek". Cerpen ini menceritakan kegelisahan perempuan karena memilik payudara, dan memutuskan untuk mengirisnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Cerpen Tetek saya kirim ke sebuah media, namun tidak dimuat. Menurut redaksi tidak memenuhi kaidah cerita yang layak dikonsumsi untuk umum,” ungkap Sonia sambil menceritakan pengalamannya saat menggelar Launching buku kumpulan cerpen Perempuan Tanpa Nama (24/12), di salah satu café yang berada di kota Singaraja, Buleleng, Bali.
Sonia yang tak ingin patah semangat, dan karena kecintaannya dengan dunia sastra memutuskan untuk mengumpulkan semua cerpennya ke dalam sebuah buku yang diberi judul Perempuan Tanpa Nama. Karyanya ini adalah perjalanan panjang dalam melahirkan sebuah karya, sekumpulan cerita pendek dalam buku ini lahir dari perjalanannya sebagai penulis sejak 13 tahun silam.
Dalam komentar di sampul belakang buku Perempuan Tanpa Nama, pengarang di Yogyakarta Raudal Tanjung Banua menulis ciri utama dari cerpen Sonia adalah narasi yang cepat, tokoh yang lugas, dan memiliki alur cerita yang tangkas. Menurut Raudal jalinan pola seperti ini hanya mungkin terbentuk dari stamina yang kuat, dan penguasaan materi dari si penulis.
Kini ibu dari dua anaknya yang bernama Putik dan Kayu ini bisa mengilustrasikan semua karyanya dalam sebuah buku tanpa khawatir ditolak untuk dimuat. Ia beserta sang suami Made Adnyana Ole mendirikan perusahaan penerbitan sendiri, yang mereka beri nama Mahima Institute Indonesia. Dalam perusahaan keluarga ini, pasangan yang berprofesi sama sebagai penulis ini lebih tertarik menerbitkan buku dengan menekankan idealisme sastra, daripada mengikuti trend pasar.