Jakarta, CNN Indonesia -- Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) membantah peran mafia penerbitan sebagai dalang keterlambatan pendistribusian sejumlah buku pelajaran ke sekolah tingkat dasar, menengah dan atas di Indonesia. Minimnya kemampuan mesin percetakan di sejumlah perusahaan percetakan mereka klaim sebagai penyebab utama.
Ketua umum IKAPI Lucya Andam Dewi mengatakan selama ini perusahaan penerbitan tidak memiliki andil sama sekali dalam proses percetakan dan pendistribusian buku pelajaran Kurikulum 2013 yang dibuat pemerintah.
"Kami tidak dilibatkan dalam proses penulisan dan penerbitan buku pelajaran Kurikulum 2013. Penerbitan diambil alih pemerintah untuk tahun ini. Jadi, tidak benar penerbit menjadi mafia," Lucya menjelaskan di gedung IKAPI, di Jalan Kalipasir, Cikini, Jakarta Pusat, pada Jumat (12/09).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh mengatakan adanya peran mafia yang membuat penyediaan dan distribusi buku kurikulum 2013 menjadi macet dan terlambat. Media lantas ramai mengabarkan bahwa mafia perbukuan merupakan bagian dari perusahaan penerbitan itu sendiri.
Lucya melanjutkan pada tahun 2014 ini, peran IKAPI hanya sebatas penyedia buku pengayaan untuk buku pelajaran yang diwajibkan oleh pemerintah. Sementara itu, untuk percetakan buku pelajaran, ditangani oleh 31 perusahaan percetakan pemenang tender yang diseleksi oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Perusahaan tersebut diantaranya PT Gramedia, PT Temprina Media Grafika, PT Gelora Aksara Pratama (GAP), CV Ganeca Exact Bandung dan PT Adi Perkasa Makassar. Peran penerbit buku pelajaran lantas diambil alih sepenuhnya oleh pemerintah.
LKPP kemudian memberikan waktu kepada perusahaan percetakan terpilih untuk mencetak dan mendistribusikan buku kurikulum 2013 sebanyak 204 juta eksemplar untuk buku SD, SMP, SMA dan SMK. Buku tersebut rencananya akan didistribusikan ke 390 ribu unit sekolah di seluruh Indonesia dengan tenggat waktu dua bulan dari pengumuman pemenang tender percetakan pada Mei 2014. Namun, tenggat terlewati, belum semua unit sekolah menerima buku pelajaran. Laporan dari Kemendikbud baru 70 persen sekolah menerima bupel Kurikulum 2013.
"Perusahaan percetakan yang tidak punya kapasitas mesin memadai akhirnya kewalahan," katanya.
Syafrizal Thasril, kepala bidang buku umum IKAPI, mengatakan dampak dari kebijakan baru tersebut adalah banyaknya perusahaan bupel gulung tikar.
"Dahulu ada sekitar 400 penerbitan berjaya di bupel. Sekarang, jumlahnya menyusut drastis jadi 150 penerbit saja. Mereka tidak sanggup menjual buku pengayaan," katanya.
Syafrizal mengatakan pemerintah dahulu pernah menerapkan kebijakan yang adil bagi industri penerbitan buku pelajaran. Pemerintah membeli bupel produksi perusahaan penerbitan swasta yang sudah lolos penilaian dari tim Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lalu, bupel yang lolos seleksi itu kemudian didistribusikan oleh penerbitan swasta tersebut berdasarkan wilayah. Tidak ada bupel yang mengalami keterlambatan, ujarnya.
"Cara itu lebih efektif untuk menghidupkan industri penerbitan bupel di Indonesia," dia menegaskan.
Sementara itu, Dharma Hutauruk dari Penerbitan PT Erlangga mengatakan Erlangga memiliki anak perusahaan percetakan, yakni PT GAP, yang terpilih dalam tender percetakan bupel Kurikulum 2013. Namun, dia mengaku percetakan di PT GAP juga mengalami kendala. Salah satunya, adalah keterjangkauan ke pulau-pulau terpencil yang cukup memakan waktu proses pendistribusian.
"Salah satu staf kami di Nias melaporkan untuk mendistribusikan bupel ke kepulauan terpencil di Nias bisa memakan waktu sebulan lebih. Belum lagi waktu cetaknya. Padahal, pemerintah maunya semua murah dan cepat. Mana mungkin," Dharma menegaskan.
Selain persoalan waktu yang mepet, masalah finansial juga dinilai menjadi penyebab utama enggannya perusahaan percetakan untuk menangani bupel terbitan pemerintah.
"Udah mesti mencetak buku dengan harga murah. Kami dibebankan juga untuk menagih duitnya ke sekolah-sekolah," ujarnya. "Semestinya pemerintah bayar putus saja. Itu lebih adil buat kami (perusahaan percetakan)."