Jakarta, CNN Indonesia -- Minimnya perlindungan terhadap korban kejahatan seksual mendorong aktivis peduli perempuan dan anak untuk menggodok draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Kekerasan Seksual. RUU tersebut rencananya akan diserahkan ke anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah pelantikan Presiden Joko Widodo pada Oktober nanti.
Tumbu Saraswati, Komisioner dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, mengatakan RUU Kekerasan Seksual dirancang oleh Tim Reformasi Hukum Kebijakan. Tim tersebut terdiri dari lembaga layanan perempuan, akademisi serta praktisi perempuan.
RUU tersebut digagas dengan latar belakang banyaknya kejahatan seksual yang tidak terakomodir melalui instrumen hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“KUHP yang ada hanya memuat definisi pemerkosaan sebatas penetrasi alat kelamin pria ke perempuan,” dia menjelaskan saat dihubungi CNN Indonesia, Rabu (24/09).
Tak hanya itu, KUHP yang lazim digunakan saat ini untuk mendakwa pelaku kejahatan seksual, juga belum memuat minimal sanksi bagi terdakwa. Akibatnya, setelah proses peradilan, pelaku bisa mendapatkan hukuman ringan. Umumnya, menurut KUHP, pelaku kejahatan seksual bisa dikenakan pidana maksimal 7 tahun kurungan penjara.
“Sayangnya, putusan hukuman cuma 6 bulan bahkan ada yang hanya 1,5 bulan. Ini kan tidak adil bagi korban,” kata dia.
Oleh karena itu, draft RUU Kekerasan Seksual nanti akan memuat pengertian lebih mendetil mengenai kejahatan seksual. Ada 15 kategori kejahatan seksual termaktub dalam draft RUU tersebut, termasuk pemaksaan persetubuhan terhadap pelacur, perdagangan terselubung dalam pernikahan perempuan di bawah umur, kekerasan perempuan melalui oral seks, hingga pelecehan seksual.
Sementara itu, Uli Pangaribuan dari divisi Pelayanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum APIK (Lembaga Bantuan Hukum- Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), mengatakan undang-undang baru diperlukan terutama untuk melindungi kepentingan korban.
“Banyak kasus ketika penyidik mengetahui korban sudah tidak perawan, mereka malah balik menuduh dan merendahkan korban,” ujar dia.
Uli lantas mencontohkan dalam kasus pemerkosaan geng terhadap siswi X dari Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bekasi, penyidik merendahkan korban karena mengetahui dari hasil visum, luka berasal dari persetubuhan lama bukan baru.
“Ucapan lantas muncul dari penyidik seperti 'ah, kamu, kan, sudah sering melakukannya.' Ini sangat tidak sensitif dengan perasaan korban,” dia menegaskan.
Ketua LBH Apik Ratna Batara Munti mengatakan untuk memberikan perlindungan maksimal bagi korban kejahatan seksual, pemerintah semestinya bisa mencontoh UU PKDRT (kekerasan dalam rumah tangga).
“Ketika akhirnya UU tersebut disahkan, banyak pelaku KDRT bisa dijerat ke ranah pidana,” kata Ratna.