Anas Dihukum Bui 8 Tahun

CNN Indonesia
Rabu, 24 Sep 2014 18:32 WIB
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhi hukuman selama delapan tahun penjara bagi bekas Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
erdakwa Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum tiba di Tipikor Jakarta, Rabu, 24 September 2014. Anas akan menjalani sidang pembacaan sidang vonis dalam kasus dugaan gratifikasi proyek P2SON Hambalang Jawa Barat. CNN Indonesia/Safir Makki
Jakarta, CNN Indonesia -- Terdakwa kasus tindak pidana korupsi dan pencucian uang proyek Hambalang, Anas Urbaningrum dihukum delapan tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

"Menyatakan Anas Urbaningrum terbukti bersalah melakukan korupsi secara berlanjut dan pencucian uang secara berulang. Terdakwa dijatuhi hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsidair tiga bulan kurungan," ujar hakim ketua Haswandi di Pengadilan Tipikor, Jalan Rasuna Said, Jakarta, Rabu (24/9).

Selain itu, Anas juga diminta membayar kerugian negara sebanyak Rp 57,5 miliar dan USD 670 ribu. Menurut Haswandi, jika tidak bayar dalam tempo satu bulan setelah vonis dan berkekuatan hukum tetap, maka aset dan harta benda terdakwa disita jaksa dan diganti hukuman pidana selama dua tahun.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut majelis hakim, hukuman tersebut patut diberikan kepada Anas Urbaningrum lantaran beberapa hal yang memberatkan. "Terdakwa sebagai anggota DPR, ketua fraksi, dan ketua partau harusnya memberikan contoh sebagai penyelenggara negara yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme," ucap Haswandi membacakan vonis. Lebih jauh ia mengatakan, perbuatan Anas tidak mendukung spirit pemerintah dan tidak mendukung semangat untuk membangin sistem poliik yang bebas dari korupsi.

Meski demikian, vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya, yakni 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair lima bulan kurungan. Selain itu, tuntutan pencabutan hak politik Anas untuk memilih dan dipilih dalam pemilu tidak dikabulkan oleh majelis hakim.

"Hal yang meringankan adalah terdakwa pernah mendapatkan penhargaan dari pemerintah berupa bintang tanda jasa. Terdakwa juga berperilaku sopan dalam persidangan. Untuk pencabutan hak politik, hal tersebut harus dikembalikan ke publik apakah orang tersebut layak dipilih atau tidak pilih dalam jabatan publik," ucap Haswandi.

Lebih jauh, hakim juga tidak mengabulkan tuntutan pencabutan izin usaha pertambangan (IUP) perusahaan milik Anas, PT Arina Kota Jaya di Kutai Timur, Kalimantan. Penolakan tersebut lantaran tuduhan pencucian uang untuk mengurus perizinan perusahaan tersebut tidak terbukti dalam fakta persidangan.

Dalam rapat musyawarah hakim, dua dari lima hakim berpendapat berbeda (dissenting opinion). Keduanya beranggapan bahwa jaksa KPK tidak berwenang menuntut tindak pidana pencucian uang.

Vonis yang dibacakan hakim, terbukti secara hukum menampik bantahan Anas ihwal keterlibatannya dalam korupsi proyek Hambalang. Pada Maret 2012 silam, bertempat di Kantor DPP Partai Demokrat, Anas semoat bersumpah dirinya tidak terlibat proyek yang menyeret polisiti Partai Demokrat tersebut.

"Yakin. Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas," ucap mantan Ketua Umum Partai Demokrat tersebut.

Merujuk pada berkas vonis yang dibacakan hakim, Anas dinilai terbukti menerima gratifikasi dari proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Padahal, sebagai penyelenggara negara, Anas tidak dizinkan secara hukum menerima gratifikasi atau hadiah yang berpengaruh pada posisi jabatannya.

Gratifikasi tersebut berupa satu unit mobil Toyota Harrier dan satu unit mobil Toyota Vellfire dengan nomor polisi B 69 AUD. Selain itu, ia menerima hadiah kegiatan survei pemenangannya dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) senilai Rp 478 juta.

Anas juga menerima uang Rp 84 miliar dan USD 36 ribu dari Muhammad Nazaruddin melalui Permai Group. Uang tersebut digunakan untuk keperluan persiapan pencalonan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Anas juga diyakini menerima uang sejumlah Rp 116 miliar dan sekitar USD 5 juta.

Dari sisa gratifikasi proyek P3SON, Anas terbukti melakukan pencucian uang dengan membeli tanah di Jakarta dan Yogyakarta. Tanah tersebut milik Reny Sari Kurniasih terletak di daerah Teluk Semangka, Duren Sawit, Jakarta Timur yang dibeli dengan harga Rp 3,5 miliar. Anas juga terbukti menyamarkan harta kekayaan hasil korupsi dengan membeli tanah milik Nurkasanah di Selat Makassar, Duren Sawit, Jakarta Timur seharga Rp 690 juta.

Selain itu, Anas melalui mertuanya Attabik Ali terbukti menyamarkan kekayaan dengan membeli tanah di Mantrijeron, Yogyakarta seharga Rp 15,7 miliar.

"Tanah di Mantrijeron dirampas untuk negara sedangkan pengelolaannya diserahkan kepada Yayasan Ali Maksum. Pengelolaan dapat dilakukan melalui perjanjian antara negara dan yayasan," kata Haswandi dalam persidangan.

Menanggapi putusan hakim dalam persidangan, Anas mengaku menghormatinya. Meksi demikian ia mengraikan pernyataan kekecewaan. "Putusan tidak adil karena tidak berdasar fakta persidangan yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan," ucap Anas saat sidang.

Ia juga menambahkan, meminta majelis hakim untuk memberikan waktu konsultasi dan berbicara dengan pihak keluarba sebelum resmi ditahan. "Saya minta waktu seminggu," katanya.

Anas juga meminta hakim bersama dengan dirinya untuk melakukan sumpah kutukan. "Saya minta setelah ini bersama-sama melakukan sumpah kutukan untuk membuktikan keadilan," ujarnya.

Meski demikian, majelis hakim tidak menanggapi permintaan Anas tersebut. "Dengan demikian sidnag ditutup," ucap Haswandi diteruskan dengan mengetuk palu.

Anas dijerat pasal berlapis. Anas dinilai melanggar pasal 12 huruf a dan pasal 11 jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat 1 KUH Pidana. Dia juga dianggap melanggar pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang jo pasal 65 ayat 1 KUHP, dan pasal 3 ayat 1 huruf c UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER