Jakarta, CNN Indonesia -- Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat mulai membahas agenda penting soal pengambilan keputusan atas Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) pukul 15.15 WIB, Kamis (25/9).
Sebanyak 560 anggota Dewan yang terhormat harus memutuskan apakah mekanisme pemilihan kepala daerah tetap seperti saat ini, yakni langsung oleh rakyat, atau kembali seperti era Orde Baru ketika kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
RUU Pilkada ini merupakan inisiatif pemerintah yang diajukan sepaket dengan RUU Desa dan RUU Pemerintahan Daerah. Dari ketiga RUU tersebut, hanya RUU Desa yang telah berhasil disahkan menjadi Undang-Undang. Sementara RUU Pilkada dan RUU Pemda yang saling terkait erat akan disahkan hari ini secara beruntun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sampai saat ini perang lobi politik antara kubu pendukung pilkada langsung dan pilkada oleh DPRD masih berlangsung sengit. Pilkada langsung didukung oleh PDIP, PKB, Hanura, dan Demokrat. Sementara pilkada lewat DPRD didukung oleh Koalisi Merah Putih yang terdiri dari Golkar, Gerindra, PKS, PAN, dan PPP.
Pemerintah yang pada awal pengajuan draf mendukung pilkada langsung kini justru kokoh berada di sisi PDIP yang mendukung pilkada langsung oleh rakyat. Pemerintah menganggap alasan pilkada oleh DPRD tidak kuat. Pilkada oleh DPRD memang bisa menghemat biaya, tapi pilkada langsung merupakan perwujudan demokrasi, dan demokrasi tak melulu soal uang.
“Dari segi penghematan uang negara, memang sangat efisien pilkada lewat DPRD. Tapi demokrasi bukan soal uang. Kalau berani (menganut sistem) demokrasi, harus berani bayar. Masak mau pintar tapi tak mau bayar uang sekolah?” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan beberapa waktu lalu dalam rapat Panitia Kerja RUU Pilkada di DPR.
Presiden Susilo Bambang Yudhono menegaskan mendukung pilkada langsung. SBY yang juga Ketua Umum Demokrat bahkan memerintahkan partainya untuk berbalik arah dari mendukung pilkada oleh DPRD menjadi mendukung pilkada langsung. Fraksi Demokrat di DPR pun mengubah pandangannya dengan mengajukan sepuluh syarat yang harus diakomodasi dalam draf RUU pilkada langsung.
Persoalan muncul karena dari sepuluh syarat itu, satu di antaranya tidak diterima oleh pemerintah dan fraksi-fraksi lain. Syarat itu adalah aturan uji publik atas calon kepala daerah. Uji publik ini memberikan kewenangan kepada tim penguji untuk memutuskan apakah bakal kandidat kepala daerah lolos atau tidak menjadi calon kepala daerah.
Syarat tersebut dianggap berpotensi menjegal calon kepala daerah dan justru rawan politik uang. “Aturan itu membuat calon bisa 'bermain' untuk mendapatkan surat lolos uji publik. Uji publik ini rentan dibayar,” kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
Ditolaknya satu syarat itu membuat Demokrat hendak mengajukan draf RUU pilkada langsung versi mereka sendiri dalam paripurna ini. Bila ini terjadi, maka dukungan suara untuk pilkada langsung terpecah dan kemenangan bakal diraih Koalisi Merah Putih.
Berhitung di atas kertas dengan tiga draf di paripurna, draf pilkada tak langsung mengantongi dukungan mayoritas dari 237 suara anggota DPR dengan rincian Golkar menyumbang 106 suara, PKS 57 suara, PAN 46 suara, PPP 38 suara, dan Gerindra 26 suara. Itu dengan catatan apabila Koalisi Merah Putih solid.
Sementara draf pilkada langsung versi Panitia Kerja didukung oleh total 139 anggota DPR dengan rincian PDIP menyumbang 94 suara, PKB 28 suara, dan Hanura 17 suara. Terakhir, draf pilkada langsung versi Demokrat didukung oleh 148 suara, seluruhnya dari fraksi itu sendiri yang menguasai kursi terbesar di DPR.