Jakarta, CNN Indonesia -- Koalisi Keadilan dan Pencari Kebenaran (KKPK) meminta pemerintah untuk menghentikan kekerasan struktural dan sistemik yang telah mengakar dalam budaya bangsa Indonesia. Kordinator KKPK Kamala Chandra Kirana mengatakan jeratan kekerasan saat ini menghantui bangsa Indonesia dan bercokol dalam ranah budaya.
“Berdasarkan laporan Tahun Kebenaran yang kami buat sejak tahun 2012 kami menemukan enam pola kekerasan yang bercokol kuat di tengah masyarakat Indonesia,” kata dia pada acara Peluncuran Buku Nawacita 4 Mata Jalan Penyintas: Jalan Perubahan dari 40 Tahun Kekerasan, pada Jumat lalu.
Dari hasil laporan tersebut, KKPK, yang terdiri atas gabungan 50 organisasi masyarakat sipil dari Aceh hingga Papua, mendapati lebih dari 1300 kasus yang tergolong sebagai kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Setelah ditelaah, KKPK mendapati enam pola kekerasan yang terbentang selama rentang 40 tahun terakhir, yang mencakup pembasmian, perampasan sumber daya alam dan sumber penghidupan, penyeragaman dan pengendalian, kekerasan antarwarga, kekerasan terhadap perempuan, dan kebuntuan hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kami mendengarkan kesaksian langsung dari 72 orang di Jakarta, Solo, Palu, Kupang, Papua dan Aceh,” salah satu kordinator KKPK yang lain, Galuh Wandita mengatakan.
Kesaksian tersebut kemudian disatukan ke dalam sebuah laporan berjudul Tahun Kebenaran. “Sebuah laporan ambisius di mana kami berusaha sekuat tenaga mempraktekkan hak atas kebenaran,” dia menjelaskan.
Salah satu saksi, Marsini, yang merupakan kakak kandung korban pembunuhan keji Marsinah, mengatakan harapannya kembali muncul ketika menghadiri acara Dengar Kesaksian Tahun Kebenaran yang diadakan oleh KKPK.
“Aku pikir kami sudah dilupakan tetapi sekarang aku punya harapan lagi untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan,” ujar Galuh mengutip kata-kata Marsini.
Menurut Galuh, Indonesia selama ini telah salah menempuh jalan. Sebagai bangsa yang berbudaya, Indonesia mengambil jalan pintas kekerasan dan akhirnya hilang di tengah hutan impunitas, katanya.
Impunitas, kata Galuh, menyebabkan tidak adanya pengakuan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi, tidak ada pemulihan dari korban dan seluruh proses pengadilan berakhir buntu.
“Akhirnya, impunitas untuk kejahatan kemanusiaan berbuah impunitas untuk kekerasan sehari-hari,” dia menegaskan.
Oleh karena itu, Galuh menjelaskan untuk menangani persoalan impunitas tersebut, pemenuhan hak korban bisa menjadi titik balik perjalanan bangsa untuk menolak kekerasan dan menjalani arah baru.
“Kami memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk memberikan pemenuhan hak-hak atas korban pelanggaran HAM,” kata dia.
Dari kesaksian para korban yang telah dikumpulkan oleh KKPK, para aktivis dan masyarakat sipil di dalamnya memberikan empat rekomendasi utama untuk dijalankan oleh Presiden dan Wakil Presiden Terpilih nanti, diantaranya mengundang pelapor khusus PBB tentang kebenaran, keadilan dan jaminan ketidakberulangan ke Indonesia dan mengangkat Jaksa Agung yang punya kompetensi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
“Kami juga meminta pemerintah mendatang menindaklanjuti rekomendasi Sidang Paripurna DPR RI pada 28 September 2009 untuk membentuk pengadilan HAM adhoc,” dia menegaskan.