MASALAH PEREMPUAN

SBY Dinilai Gagal Penuhi Hak Dasar

CNN Indonesia
Minggu, 19 Okt 2014 14:55 WIB
Selama 10 tahun pemerintahan SBY-Boediono, kondisi perempuan dan anak masih saja terjebak dalam kemiskinan dan termarjinalkan dalam masyarakat.
Pekerja perempuan melipat daster batik di industri garmen di kawasan Kuningan, Jakarta, Selasa, (23/9). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai gagal melindungi hak perempuan dan anak dalam satu dekade pemerintahannya. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dinilai para aktivis telah gagal melindungi hak perempuan dan anak. Selama 10 tahun pemerintahan SBY-Boediono, kondisi perempuan dan anak masih saja terjebak dalam kemiskinan dan termarjinalkan dalam aspek sosio masyarakat.

"Bukti lapangan menunjukkan persoalan perempuan dan anak masih belum tertangani dengan baik," kata Missiyah selaku Ketua Pelaksana Harian Institut KAPAL Perempuan kepada CNN Indonesia di sela-sela pernyataan bersama Gerakan Perempuan Indonesia Melawan Pemiskinan, Ahad (19/10) di Jakarta Pusat.

Gerakan Perempuan Indonesia Melawan Pemiskinan terdiri atas beberapa lembaga swadaya masyarakat (lsm) yang vokal pada isu perempuan dan anak seperti KAPAL Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, Migrant Care, PEKKA dan PP Aisyiyah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Missiyah, hal tersebut dibuktikan dengan rendahnya keterwakilan perempuan dalam parlemen. Menurut pengamatan dari koalisi Gerakan Perempuan Indonesia Melawan Pemiskinan, perwakilan perempuan dalam parlemen di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk periode 2014-2019 menurun dari 17,7 persen menjadi 17, persen. Padahal, pemerintah sedang mendorong agar keterwakilan perempuan hingga 30 persen dalam parlemen.

"Ini sebuah pertanda bahwa tantangan memperjuangkan aspirasi politik perempuan Indonesia menjadi semakin terjal," katanya.

Tak hanya persoalan keterwakilan perempuan dalam parlemen, produk legislasi yang dihasilkan oleh pemerintahan SBY-Boediono juga dinilai aktivis tidak pro pada pemenuhan hak dasar perempuan. Produk legislasi yang ada selama ini dianggap malah menjadi alat legitimasi berlangsungnya pembatasan akses terhadap perempuan terhadap hak dasar.

Missiyah mencontohkan salah satu persoalan, yakni UU Perkawinan yang membolehkan anak perempuan di bawah usia 18 tahun untuk menikah.

Dia melihat dampak langsung dari UU tersebut terhadap perempuan bersangkutan adalah tidak bisa mendapatkan akte kelahiran untuk bayinya, karena dianggap masih berusia anak. UU Perkawinan sendiri dianggap bertentangan dengan UU Perlindungan Anak yang menyatakan usia manusia dewasa adalah 18 tahun, dan bukan 16 tahun.

"Data menunjukkan 58 persen anak dari keluarga miskin tidak punya akte kelahiran akibat cenderung dinikahkan pada usia anak," jelasnya. "Tidak adanya akte membuat perempuan rentan atas kekerasan dan terabaikan hak dasarnya."

Secara terpisah, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Masruchah mengatakan produk legislatif yang diskriminatif terhadap perempuan terutama banyak bermunculan semenjak otonomi daerah diberlakukan.

Komnas Perempuan sendiri mencatat selama ini muncul sebanyak 382 kebijakan pemerintah yang diskriminatif terhadap perempuan. Salah satunya, adalah perda yang mewajibkan perempuan mengenakan jilbab saat memasuki institusi atau tempat publik dan melarang perempuan untuk keluar malam.

"Pemerintah pusat seolah lepas tangan melihat perda-perda aneh bermunculan yang membatasi akses perempuan untuk dapatkan hak dasarnya," kata dia.

Melihat persoalan tersebut, Missiyah mengatakan pemerintah baru dibawah kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, mesti bisa memastikan keterwakilan 30 persen perempuan dalam parlemen. Tak hanya itu, pemerintah juga diharapkan bisa mendorong produk legislasi baru yang tidak lagi mengkriminalisasi dan memarjinalkan kaum perempuan.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER