Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin pada kabinet SBY mengatakan mutasi pejabat dan pegawai nakal ke daerah terpencil yang dilakukan lembaga penegak hukum di Indonesia bisa menimbulkan masalah baru. Mutasi, kata Amir, justru rentan memunculkan penyimpangan dan korupsi di daerah.
"Sering sekali lembaga penegak hukum memutasi pejabat atau pegawai mereka ke daerah terpencil sebagai hukuman. Padahal ketika dibuang ke daerah justru tidak ada kontrol atas tindakan mereka," kata Amir saat berbincang dengan CNN Indonesia, Senin malam (20/10).
Minimnya kontrol terhadap pejabat dan pegawai bermasalah tersebut melahirkan peluang melakukan penyimpangan dan korupsi di daerah. Menurut Amir, yang harus dikirim ke daerah terpencil adalah pejabat dan pegawai yang berprestasi. "Tempatkan mereka yang berprestasi di daerah terpencil paling lama satu tahun, jangan terlalu lama agar mereka tidak merasa dibuang," tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Amir menyatakan, pejabat berprestasi itu yang akan melakukan perbaikan di daerah terpencil. Jika masa tugasnya telah berakhir, pejabat pengganti dapat melanjutkan sistem dan konsep kerja yang telah dibangun. "Kami menerapkan itu di Kementerian Hukum dan HAM," ujarnya.
Berdasarkan data, KPK telah menangani kasus korupsi 40 orang wali kota, bupati, dan wakilnya di seluruh Indonesia selama kurun waktu 2004-2014. Khusus untuk tahun 2014, sebanyak tujuh orang wali kota, bupati, dan wakilnya telah diproses KPK karena terlibat korupsi.
Anggota DPR dari Fraksi Keadilan Sejahtera Mahfudz Siddiq sependapat dengan Amir. Selain mutasi pejabat bermasalah ke wilayah terpencil, Mahfudz menyoroti mutasi pejabat setelah pemilihan kepala daerah.
Menurut anggota dewan dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu, mutasi pejabat karena kedekatan dengan kepala daerah yang baru justru melahirkan kolusi dan korupsi. "Karena mendukung kepala daerah tersebut maka dapat posisi karier. Ini juga harus diperhatikan," kata Mahfudz ketika dihubungi CNN Indonesia, Selasa (21/10).
Di luar persoalan mutasi, lanjut Mahfudz, korupsi terjadi karena dua hal. Pertama, politik berbiaya tinggi yang terjadi di Indonesia. Kedua, pengawasan yang lamban dalam penerapan
good corporate governance. Ketiga, tidak ada transparansi dalam proses pengambilan kebijakan di setiap daerah.