Jakarta, CNN Indonesia -- Bekas Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Syahrul Raja Sempurnajaya dituntut 10 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi. "Seluruh dakwaan terbukti sah dan memenuhi unsur pembuktian tindak pidana. Kami meminta majelis menjatuhkan pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider delapan bulan kurungan," ujar jaksa Ely Kusumastuti saat sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan, Rabu (22/10).
Menurut majelis hakim, hal yang memberatkan bagi terdakwa adalah tindak pidana korupsi dilakukan saat negara memberantas korupsi. Sementara hal yang meringankan adalah Syahrul belum pernah terkena kasus hukum, mengakui, dan menyesali perbuatannya.
Kuasa hukum Syahrul, Eko Prananto mengaku tuntutan tersebut berat. "Kami masih dalami masalah UU Tindak Pidana Pencucian Uang, itu kan masih terjadi perdebatan untuk dapat dituntut KPK atau tidak," ujar Eko usai sidang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Eko mengaku kliennya tidak mengerti masalah hukum sehingga ketika akan melakukan bisnis, Syahrul masih dalam posisi sebagai Ketua Bappebti. "Coba tunggu tiga bulan, dia bisa lolos. Itu keliru ketika membuat perjanjian mencantumkan Bappebti," ucap Eko.
Sementara itu, Syahrul mengatakan pihaknya akan mengikuti aturan hukum yang berlaku. "Seminggu cukup untuk mempersiapkan pledoi," kata Syahrul usai sidang rampung.
Syahrul dan kuasa hukumnya akan mengajukan nota keberatan masing-masing pada persidangan selanjutnya, Rabu mendatang (29/10). Dalam tuntutan setebal 1.550 halaman, jaksa membuktikan enam dakwaan yang ditujukan kepada Syahrul. Lima di antaranya merupakan tindak pidana korupsi dan satu lainnya yakni tindak pidana pencucian uang.
Syahrul dinilai terbukti memaksa Ketua Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI) l Gede Raka Tantra dan Ketua Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia (IP2BI) Fredericus Wisnubroto untuk menyisihkan
fee transaksi dari keseluruhan transaksi di PT Bursa Berjangka Jakarta (PT BBJ) dan PT Kliring Berjangka Indonesia (PT KBI) untuk kepentingan operasional.
Untuk memenuhi permintaan Syahrul, I Gede dan Fredericus menandatangani perjanjian pembagian
fee transaksi sistem perdagangan alternatif sebesar 2 persen. Total uang bantuan operasional yakni sebesar Rp 1,675 miliar. Tindakan Syahrul melanggar Pasal 5 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Syahrul dikenai Pasal 12 huruf e UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001
juncto Pasal 64 ayat 1 KUHPidana.
Dalam berkas tuntutan, Syahrul juga terbukti menerima suap sebesar Rp 1,5 miliar lantaran membantu melakukan mediasi antara Maruli T Simanjuntak dengan CV Gold Asset ketika keduanya bersengketa ihwal investasi emas senilai Rp 14 miliar. Atas tindakan tersebut, Syahrul dijerat Pasal 12 huruf b UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001
juncto Pasal 64 ayat 1 KUHPidana.
Menurut jaksa KPK, Syahrul pun telah menerima suap Rp 7 miliar dari Komisaris Utama PT BBJ Hasan Wijaya dan Direktur Utama PT BBJ Bihar Sakti Wibowo pada 2 Agustus 2012. Suap dimaksudkan untuk memproses permohonan izin usaha lembaga kliring berjangka PT Indokliring. Perbuatan tersebut dianggap melanggar Pasal 12 huruf a UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Tuntutan lainnya, Syahrul memerintahkan Kepala Biro Hukum Bappebti Alfons Samosir untuk meminta Direktur PT Millenium Penata Futureems (PT MPF) Runy Syamora menyerahkan uang sebesar Aus$ 5 ribu. Uang tersebut digunakan sebagai tambahan uang saku untuk melakukan perjalanan dinas ke Australia. Syahrul dijerat Pasal 12 e UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001
juncto Pasal 55 ayat 1 KUHPidana.
Tuntutan kelima, Syahrul bersama Direktur Utama PT Garindo Perkasa Sentot Susilo dan Direktur Operasional PT Garindo Perkasa, memberikan uang Rp 3 miliar kepada sejumlah pejabat di antaranya Kasubag Penataan Wilayah Bagian Administrasi Pemerintahan Kabupaten Bogor, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor Rosadi Saparudin, dan Kepala Urusan Humas dan Agraria KPH Bogor Saptari. Uang tersebut digunakan untuk memuluskan penerbitan perizinan lokasi Tempat Pemakaman Bukan Umum (TPBU) di Desa Antajaya, Tanjungsari, Kabupaten Bogor, atas nama PT Garindo Parkasa. Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001
juncto Pasal 55 ayat 1 KUHPidana.
Tuntutan keenam yakni pencucian uang. Syahrul patut diduga melakukan pencucian uang dari harta kekayaan hasil korupsi dengan menempatkan uang Rp 974 juta dan US$ 184 ribu di beberapa rekening istri keduanya, Herlina Triana Diehl. Duit hasil korupsi juga digunakan untuk membeli sebuah mobil Toyota Vellfire senilai Rp 790 juta, membayar cicilan apartemen di Senopati Office senilai Rp 1,73 miliar, membeli sebuah mobik Toyota Hilux sebesar Rp 327 juta, membeli polis asuransi senilai Rp 12 juta dan investasi senilai Rp 188 juta. Syahrul juga mencuci uangnya senilai Rp 873 juta dan US$ 157 ribu melalui beragam bentuk lainnya. Syahrul dikenai Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang
juncto Pasal 65 ayat 1 KUHPidana.