KISRUH DPR

Cabuh DPR Imbas dari Politik Aturan

CNN Indonesia
Sabtu, 01 Nov 2014 11:36 WIB
Mekanisme pemilihan pimpinan DPR yang termaktub dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dinilai sebagai lantaran kecabuhan yang kini membelah DPR.
Sidang paripurna, pada Selasa (28/10), yang beragendakan pengesahan nama-nama anggota alat kelengkapan dewan dari fraksi yang belum mengajukan berakhir ricuh.
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat hukum Ronald Rofiandri menilai munculnya kisruh Dewan Perwakilan Rakyat tandingan merupakan imbas dari aturan yang problematik. Aturan yang dimaksud yakni ihwal mekanisme pemilihan pimpinan DPR yang termaktub dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

"Realitas politik ini harus dicermati jauh ke belakang yang itu ada saat pembahasan UU MD3. Salah satunya, mekanisme pemilihan pimpinan DPR. Saya melihat pembahasan UU MD3 berimbas sampai sekarang," kata Ronald dalam sebuah diskusi bertajuk "Politik Ribut DPR" di Jakarta, Sabtu (1/11). Menurut Ronald, ada sejumlah pihak yang tidak setuju dengan aturan tersebut.

Lebih jauh, lulusan Universitas Indonesia ini mengatakan, perspektif yang muncul adalah pimpinan dan alat kelengkapan DPR dianggap sangat menentukan kebijakan. "Padahal, posisi anggota DPR itu 560 dan semua anggota dewan memiliki hak yang sama. Tak bisa ditentukan hanya oleh pimpinan," kata peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam sejumlah pasal diantaranya pasal 84, pasal 97, pasal 104, pasal 109, pasal 115, pasal 121, dan pasal 152, aturan pemilihan pimpinan DPR tidak lagi diberikan secara langsung pada partai pemenang pemilu legislatif. Pemilihan ketua DPR dalam alat kelengkapannya menganut sistem paket yang diajukan oleh lima fraksi untuk posisi satu ketua dan empat wakil ketua.

Alhasil, saat itu yang bisa mengajukan paket pimpinan adalah kubu Koalisi Merah Putih pimpinan Fraksi Gerindra. Setelah melalui sidang paripurna, akhirnya pimpinan DPR disahkan yang terdiri dari jejeran perwakilan dari kubu Koalisi Merah Putih.

Peta politik akhirnya terbelah di kalangan elit. Perseteruan dua kubu antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat semakin meruncing. Setelah pimpinan DPR, akrobat politik nampak pada pemilihan pimpinan Alat Kelengkapan Dewan termasuk pimpinan komisi di DPR. Pada paripurna selama dua hari, Kamis lalu (30/10), DPR mengesahkan pimpinan komisi yang terdiri dari fraksi partai Koalisi Merah Putih.

Tak terima dengan hasil paripurna, Koalisi Indonesia Hebat menggelar sidang paripurna tandingan dengan merumuskan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR, Jumat (31/10). "Kami melihat tidak konsistennya, setiap persidangan, dan di dalam pengambilan keputusan, ada pengabaian asas yang terkandung dalam UU MD3 dan tata tertib," ujar anggota DPR fraksi PDI Perjuangan Effendi Simbolon. Asas tersebut, menurut Effendi adalah musyawarah mufakat.

Berbeda dengan Effendi, poltikus PKS Mahfudz Siddiq menilai implementasi UU MD3 sebagai hukum yang berlaku, sudah diterapkan dalam mekanisme pemilihan. Sementara DPR tandingan tersebut tidak dapat diakui lantaran tidak diikuti oleh pimpinan DPR yang sah. Mahfudz menilai adanya permasalahan yang belum rampung di internal Koalisi Indonesia Hebat. "Kami memberikan kesempatan KIH untuk menyelesaikan urusan sendiri dulu. Itu kan masalah yang belum selesai di internal mereka," ujarnya.

Sementara itu, untuk merampungkan kisruh DPR ini, pakar komunikasi politik Hendri Satrio menilai perlunya ada komunikasi politik yang luwes antar dua kubu. "Dimulai dari pimpinannya. Bentuknya, harus legowo dan mengakhiri kisruh. Jangan mencari eksistensi lagi," ujar dosen UIN Jakarta ini.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER