ANGGARAN BANTUAN

Jokowi Harus Buat Aturan Cegah Korupsi Bansos

CNN Indonesia
Rabu, 05 Nov 2014 09:06 WIB
Pemerintah harus menerbitkan peraturan untuk mencegah penyimpangan dalam alokasi anggaran bantuan sosial dalam APBN dan APBD terus terjadi.
Ilustrasi. Alokasi anggaran bantuan sosial dalam APBN dan APBD sangat besar. Perlu diterbitkan peraturan pemerintah untuk mengatur agar tidak terjadi penyimpangan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Anggaran pemerintah pusat dan daerah untuk bantuan sosial (bansos) dinilai rawan penyimpangan. Salah satunya karena belum ada peraturan pemerintah (PP) yang mengatur.

Presiden Joko Widodo diminta menerbitkan PP sebagai produk turunan dari Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur jenis belanja termasuk belanja sosial. 

"Pemerintah perlu membuat aturan turunan yang harus dipatuhi oleh pusat maupun daerah," kata Roy Salam, Koordinator Indonesia Budget Center (IBC), ketika dihubungi CNN Indonesia, Selasa (4/11).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Roy menyatakan, era kepemimpinan Jokowi berbeda dengan masa Susilo Bambang Yudhoyono dalam hal penyaluran anggaran langsung ke masyarakat karena kebijakan Jokowi dianggap akan lebih banyak bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Bahkan Jokowi turun tangan sendiri menyalurkan bantuan yang bersifat sosial seperti bantuan yang diberikan dalam bentuk kartu Indonesia pintar, kartu Indonesia sehat, dan kartu keluarga sejahtera.

"Anggaran itu sifatnya sosial. Untuk ongkos penyaluran dan pengadaan langsung ke masyarakat, yang berkaitan langsung dengan masyarakat harus ada aturan yang lebih jelas," ujar Roy.

Menurut Roy, aturan yang dijadikan rujukan terkait anggaran bansos selama ini adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri).

PMK dianggap mengatur hal yang sangat teknis namun pada akhirnya mengembalikan kebijakan kepada masing-masing kementerian yang akan mengeluarkan dana bansos.

"Permendagri juga lemah karena tingkat kepatuhan daerah sangat rendah. Kalau dibuat Peraturan Pemerintah, akan lebih jelas," katanya.

Pernyataan Roy sejalan dengan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2011 yang menyebut aspek regulasi merupakan salah satu kelemahan dalam penyaluran dana bansos.

KPK menemukan tidak ada pedoman dalam penyusunan peraturan kepala daerah tentang pengelolaan bansos, Surat Edaran Mendagri dengan Permendagri bahkan tidak sinkron terkait anggaran bansos dalam bentuk barang, serta asas keadilan dan keapatutan pengelolaan bansos tidak terpenuhi.

Roy Salam mengatakan masalah yang ditemukan organisasinya antara lain salah sasaran dalam alokasi bansos, pemberian bantuan kepada yayasan yang dipimpin oleh kepala daerah setempat, bansos diberikan kepada lembaga yang berafiliasi dengan partai politik, serta tidak ada pertanggungjawaban dari penerima bantuan.

"Persoalan di lapangan selalu itu. Padahal setiap penggunaan uang negara harus jelas siapa penerimanya, verifikasi, untuk apa uang tersebut digunakan," tutur Roy sambil menjelaskan bahwa temuan itu sejalan dengan Badan Pemeriksa Keuangan 

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri sebagaimana dilansir Komisi Pemberantasan Korupsi, alokasi dana bansos pemerintah daerah sangat besar.

Tahun 2010, jumlah dana bansos dalam APBD sebesar Rp 11,96 triliun; tahun 2011 sebesar Rp 12,05 triliun; tahun 2012 mencapai Rp 6,54 triliun; dan tahun 2013 sebesar Rp 7,91 triliun.

Kajian yang dilakukan KPK terkait dana bansos dilakukan dengan latar belakang kajian Indonesia Corruption Watch menunjukkan bahwa momentum pemilihan kepala daerah kerap dijadikan ajang korupsi dana bansos dan hibah.

Modus yang digunakan adalah petahana memanfaatkan kewenangan mereka mencairkan dana untuk masyarakat dan pemerintah desa dengan harapan mendapat simpati berupa suara dalam pilkada.

Sejak tahun 2009, KPK juga telah menangani sejumlah kasus korupsi penggunaan dana bansos di daerah yang melibatkan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan kepala daerah dan anggota DPRD.

Salah satu kasus tersebut adalah kasus korupsi dana bansos di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun anggaran 2010 dan 2011 sebesar Rp 74,8 miliar dan Rp 6,8 miliar.

Sementara itu, IBC menemukan sejumlah dugaan penyimpangan dalam anggaran hibah dan bansos di Jakarta tahun 2012.

Penyimpangan yang diduga terjadi adalah penerima bansos fiktif sebesar Rp 225 juta, 10 lembaga penerima bansos memiliki alamat yang sama dengan dugaan kerugian kas daerah senilai Rp 320 juta, serta sebanyak 21 penerima bansos tidak dicantumkan alamat penerima senilai Rp 570 juta.

"Kami sempat merekomendasikan agar KPK menindaklanjuti temuan tersebut, evaluasi oleh DPRD terkait alokasi bansos, meminta BPK melakukan audit investigasi, dan masyarakat harus lebih aktif mengontrol," kata Roy.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER