PELANGGARAN HAM

Polisi Dinilai Diskriminatif Tangani Perkara

CNN Indonesia
Selasa, 04 Nov 2014 18:35 WIB
Kasus kekerasan seksual di JIS memasuki persidangan. Sejumlah pihak menilai polisi diskriminatif menangani sejumlah kasus, termasuk terhadap tersangka JIS.
Koordinator Badan Pekerja KontraS Haris Azhar. KontraS menilai polisi bersikap diskriminatif dalam menangani sejumlah kasus, termasuk terhadap tersangka Jakarta International School. (detikFoto/Ari Saputra)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritisi sejumlah pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh pihak kepolisian saat memeriksa perkara. Hal paling mendasar yaitu terjadi diskriminasi dalam proses penanganan perkara.

Koordiantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengatakan, penegakan hukum yang dilakukan polisi di satu sisi memunculkan rasa takut di masyarakat. "Kalau ada orang kelas rendahan dari sisi ekonomi tidak punya uang, tidak punya informasi yang cukup, dan tidak punya keberanian menantang proses hukum, maka apabila sekali berurusan dengan polisi, dia akan habis sudah," ujar Haris dalam diskusi bertajuk "Tantangan Kinerja Polisi di Pemerintahan Jokowi" di Cikini, Jakarta, Selasa (4/11).

Haris berpendapat, orang tersebut lebih mudah menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia dalam proses pemeriksaan. Pelanggaran tersebut bisa berbentuk rekayasa kasus saat penyelesaian dan kekerasan fisik. "Tingkat penyelesaian di Mabes Polri atau Polda akan rumit. Kalau mau nyogok, harganya akan tinggi," kata Haris.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia mencontohkan kasus kekerasan seksual dengan korban siswa Jakarta International School (JIS) yang menyeret petugas kebersihan sebagai tersangka. Sejumlah kejanggalan bahkan ditemukan dalam kasus tersebut. "Yang ditargetkan adalah ini institusi besar dan sentimen asing maka mengaburkan fakta," kata Haris. "Makin terbukti ketidaktepatan kasus ketika tidak ditemukan bukti dugaan pelecehan seksual dari si anak," ujarnya.

Merujuk pada hasil visum dokter, tidak ditemukan bukti pelecehan seksual pada si anak. Haris juga menyoroti kekerasan fisik yang diterima saat penahanan petugas kebersihan. Yaya, istri seorang terdakwa bernama Syahrial, mengaku suaminya mendapat penyiksaan. "Semua habis badannya, lebam. Saat penyidikan dia disiksa dari jam sembilan malam sampai jam tiga pagi. Dia dipaksa untuk mengakui dan mengatakan 'iya'," kata Yaya.

Hal senada juga diucapkan Narti, istri seorang terdakwa bernama Agun. "Muka bonyok, bekas tonjokan, dadanya juga. Banyak lebam. Bekas luka sudah hitam. Dia sampai bersumpah, enggak pernah melakukan tapi tetap disiksa penyidik buat ngakuin perbuatan yang tidak dilakukan," kata Narti sembari menahan isak tangis.

Fakta tersebut, lanjut Haris, mengungkapkan ada penanganan kasus yang dilakukan dengan cara tidak tepat. " Apa pembelajarannya? Apakah polisi menemukan pelaku yang sebenarnya?" ujar Haris.

Merujuk data KontraS, sepanjang tahun 2013 hingga 2014, ditemukan 108 kasus kekerasan dengan korban sebanyak 155 orang luka-luka, 107 orang mengalami trauma dan kerugian fisik maupun psikis, serta satu orang tidak diketahui keberadannya. Dari keseluruhan, 80 kasus dilakukan Polri. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 55 dari 100 kasus kekerasan dilakukan Polri.

Saat ini, polisi tengah mengadili perkara terdakwa kasus pelecehan seksual JIS. Dua di antaranya yakni Agun Iskandar dan Syahrial. Keduanya didakwa melanggar Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Mereka terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER