HARGA BBM

Soal BBM, Jokowi Perlu Bicara dengan PDIP

CNN Indonesia
Rabu, 05 Nov 2014 16:36 WIB
Sejumlah kader PDIP kritik keras rencana kebijakan Jokowi menaikkan harga BBM. Mengapa Megawati tak mau bicara?
Presiden Joko Widodo (tengah) berjalan menuju ruang kerjanya seusai menunaikan shalat Jumat di Masjid Baiturrahman Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (31/10). Menanggapai munculnya fenomena DPR tandingan. Menurut Joko Widodo, persatuan dan kesatuan sangat dibutuhkan di parlemen yang menjadi kekuatan untuk membangun bangsa dan negara. (Antara Foto/Andika Wahyu)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ada isyarat kenaikan harga BBM akan berlangsung dalam bilangan pekan, atau juga hari. Meski tak mudah bagi Presiden Jokowi, tapi kebijakan itu tampaknya segera berjalan. "Pokoknya bulan ini, ditunggu setelah penyebaran KIP dan KIS merata," ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, kemarin.

Upaya penyebaran Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) terus digencarkan. Seperti isyarat Kalla, jika strategi pengalihan subsidi ke rakyat yang berhak itu berjalan baik, maka pemerintah segera menaikkan harga BBM.

Kalla menjelaskan bahwa kenaikan harga demi pengalihan subsidi itu tak bisa dielakkan lagi. "Subsidi akan kami berikan ke rakyat yang tidak mampu, tidak lagi ke pemilik mobil seperti sebelum ini," ujarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rencana menaikkan harga BBM bertahap sebetulnya sudah digagas sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Bahkan SBY sempat melakukannya meskipun diturunkan lagi ketika harga minyak dunia melemah.

Waktu itu, SBY tak mendapat hambatan secara politik. Partai Demokrat yang mengusungnya jadi presiden, memberi dukungan penuh. Dulu reaksi justru datang dari oposisi di parlemen, plus aksi protes mahasiswa di berbagai daerah.

Tapi kali ini, Presiden Jokowi tampaknya harus menghadapi perlawanan dari dalam. Sejumlah anggota partai pengusungnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menolak kenaikan harga BBM.

Effendi Simbolon, misalnya. Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP Bidang Energi dan Sumber Daya itu secara terbuka menolak kenaikan harga BBM. Tak hanya itu, ia juga meragukan kapasitas menteri-menteri Kabinet Kerja, khususnya di kementerian yang bersentuhan langsung dengan urusan BBM.

"Kami belum menentukan sikap, wong menterinya saja bermasalah. Siapa (Menteri ESDM) Sudirman Said, (Menteri BUMN) Rini Soemarno? Siapa Menko Ekuin? Apa mereka ini yang membawa garis liberal ekonomi? Pokoknya saya tidak setuju saja," kata Effendi di gedung DPR RI, Senayan, Selasa (4/11).

Penolakan lain datang dari anggota PDIP Rieke Diah Pitaloka. Bekas artis itu menyatakan tak ada situasi mendesak yang membuat Jokowi dapat menaikkan BBM. "Lagu lama kaset baru. Alasan tak beranjak meski pemerintahan berganti,” kata Rieke.

Tentu beda suara berbeda dari kubu Banteng ini membuat tanda tanya. Apakah partai itu tak sejalan lagi dengan kebijakan Jokowi?

Anggota Fraksi PDIP bidang ekonomi dan keuangan, Hendrawan Pratikno, menyatakan apa yang dikatakan para kader PDIP adalah hak mereka. Hendrawan pun berpendapat serupa. Hingga saat ini, kata Hendrawan, partai belum mengeluarkan instruksi khusus, apakah setuju atau tidak terhadap kenaikan harga BBM.

"Ini bukan penolakan membabi buta. Tapi terjadi karena belum ada klarifikasi secara detail yang disampaikan ke publik. (Jokowi) juga belum menyampaikan penjelasan ke fraksi," ujar Pratikno.

Megawati bungkam

Menanggapi para kadernya yang tak satu suara mendukung kebijakan pemerintah Jokowi, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tak banyak bicara. “Tidak ada relevansinya dengan saya,” kata Mega usai menghadiri perayaan ulang tahun ke-60 Yayasan Pembinaan Anak-anak Cacat di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (5/11).

Presiden RI kelima itu kemudian bergegas menuju mobilnya. “Syuh, syuh,” kata Mega kepada wartawan sambil menutup mikrofon yang disodorkan ke arahnya dengan tangan. Ia lalu tersenyum, dan meninggalkan lokasi sembari melambaikan tangan.

Silang pendapat antara Presiden Jokowi dan kader PDIP dianggap sebagai bentuk kegagalan komunikasi. Kurtubi, anggota DPR dari Nasional Demokrat—partai pengusung Jokowi, mengatakan PDIP adalah partai bergaris wong cilik, yang sejak awal menentang kenaikan BBM. “Kalau tiba-tiba berubah haluan ini perlu penyesuaian,” ujarnya.

Kurtubi mengatakan dibutuhkan dialog antara tim presiden dan PDIP. "Tapi ini tidak berjalan," kata Kurtubi yang juga pengamat perminyakan dan energi. Ia menilai, ketimbang menaikkan harga, tata kelola migas yang buruk harusnya dibenahi. Itu termasuk menutup peluang mafia migas bermain di sektor ini. "Bersihkan dulu, tunjukkan ke masyarakat. Baru setelah itu harga BBM dinaikkan," ujarnya.

Bungkamnya Megawati juga disorot Kurtubi. Menurut dia, itu justru menjadi preseden buruk. Megawati terkesan mendiamkan perseteruan antara kadernya dengan Presiden Jokowi yang juga kader PDIP. Sebelum ada kata sepakat di antara partai pengusung Jokowi, khususnya PDIP, Kurtubi berharap Jokowi tidak dulu menaikkan harga BBM. "Jika dipaksakan tapi belum satu suara, itu bisa jadi perpecahan buat PDIP," ujar Kurtubi.

Komunikasi lemah

Direktur Eksekutif Populi Center, Nico Harjanto, juga melihat komunikasi politik antara pemerintah Jokowi dan koalisi pendukungnya kurang bagus. "Perlu ditingkatkan supaya kebijakan pemerintah dapat dukungan bulat dari anggota koalisi terlebih dahulu," kata dia. Jika urusan dengan koalisi beres, langkah berikutnya lebih mudah. Misalnya, menarik dukungan dari partai politik lain.

Secara garis partai, PDIP sejak dulu memang paling gencar menolak kenaikan BBM. "Karena itu pemerintah perlu mendorong perubahan sikap politik PDIP,” kata Nico. Betapapun, kata Nico, partai Banteng itu masih punya bayangan kuat gagasan Trisakti dari Soekarno. Isinya berdaulat politik, berdikari ekonomi, dan berkepribadian budaya. Tentu, Nico menambahkan, hal itu sangat kontras dengan kenaikan harga BBM.

Meski begitu, para ahli politik menilai Jokowi punya strategi berbeda ihwal menaikkan harga BBM. "Sebagai bahan perbandingan, pada zaman SBY, dia memberikan bantuan langsung tunai atau bantuan langsung sementara masyarakat sesudah menaikkan BBM," kata peneliti politik dari Universitas Parahyangan Bandung, Leo Agustino.

Pada pemerintahan Jokowi, kata Leo, sistem bantuan itu dirintisnya lebih dulu, agar jalur bantuan dipastikan sampai ke tangan yang berhak. “Setelah itu baru Jokowi menaikkan harga BBM,” ujarnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER