Jakarta, CNN Indonesia -- Bekas Kepala Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Syahrul Raja Sempurnajaya akan menghadapi pembacaan vonis kasus korupsi yang didakwakan pada dirinya, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, hari ini, Rabu (12/11).
"Ya kami siap (hadapi vonis). Dia (Syahrul) sudah tahu resikonya. Ya enggak masalah. Nanti kan kita buktikan," kata kuasa hukum Syahrul, Eko Prananto, ketika dihubungi CNN Indonesia, Selasa malam (11/11).
Ketika ditanya ihwal kemungkinan akan mengajukan banding apabila tuntutan diterima, pihaknya mengaku masih memikirkannya. "Nanti kan pasti masih pikir-pikir dulu, lihat pertimbangan hukumnya, kalau memungkinkan banding ya kami akan ajukan banding," ujar Eko.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, Rabu (22/10), jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Syahrul dihukum 10 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider delapan bulan kurungan. Syahrul dianggap tidak mendukung upaya negara memberantas korupsi.
Dalam tuntutan setebal 1.550 halaman kala itu, jaksa membuktikan enam dakwaan yang ditujukan kepada Syahrul. Lima di antaranya merupakan tindak pidana korupsi dan satu lainnya yakni tindak pidana pencucian uang.
Syahrul dinilai terbukti memaksa Ketua Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI) I Gede Raka Tantra dan Ketua Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia (IP2BI) Fredericus Wisnubroto untuk menyisihkan
fee transaksi dari keseluruhan transaksi di PT Bursa Berjangka Jakarta (PT BBJ) dan PT Kliring Berjangka Indonesia (PT KBI), untuk kepentingan operasional.
Untuk memenuhi permintaan Syahrul, I Gede dan Fredericus menandatangani perjanjian pembagian
fee transaksi sistem perdagangan alternatif sebesar dua persen. Total uang bantuan operasional yakni sebesar Rp 1,675 miliar. Tindakan Syahrul tersebut melanggar pasal 5 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Syahrul dikenai pasal 12 huruf e UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat 1 KUHPidana.
Selain itu, dalam berkas tuntutan, Syahrul juga terbukti menerima suap sebesar Rp 1,5 miliar lantaran membantu melakukan mediasi antara Maruli T Simanjuntak dengan CV Gold Asset ketika keduanya bersengketa ihwal investasi emas senilai Rp 14 miliar. Atas tindakan tersebut, Syahrul dijerat pasal 12 huruf b UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat 1 KUHPidana.
Menurut jaksa KPK, Syahrul juga telah menerima suap sebesar Rp 7 miliar dari Komisaris Utama PT BBJ Hasan Wijaya dan Direktur Utama PT BBJ Bihar Sakti Wibowo pada tanggal 2 Agustus 2012. Suap dimaksudkan untuk memproses permohonan izin usaha lembaga kliring berjangka PT Indokliring. Perbuatan tersebut dianggap melanggar pasal 12 huruf a UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Tuntutan lainnya, Syahrul memerintahkan Kepala Biro Hukum Bappebti Alfons Samosir untuk meminta Direktur PT Millenium Penata Futureems (PT MPF) Runy Syamora menyerahkan uang sebesar 5 ribu dollar Australia.
Uang tersebut digunakan sebagai tambahan uang saku untuk melakukan perjalanan dinas ke Australia. Syahrul dijerat pasal 12 (e) UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 KUHPidana.
Tuntutan kelima, Syahrul bersama dengan Direktur Utama PT Garindo Perkasa Sentot Susilo dan Direktur Operasional PT Garindo Perkasa, memberikan uang Rp 3 miliar kepada sejumlah pejabat di antaranya Kasubag Penataan Wilayah Bagian Administrasi Pemerinthaan Kabupaten Bogor, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Bogor Rosadi Saparodin, dan Kepala Urusan Humas dan Agraria KPH Bogor Saptari.
Uang tersebut digunakan untuk memuluskan penerbitan perizinan lokasi Tempat Pemakaman Bukan Umum (TPBU) di Desa Antajaya, Tanjungsari, Kabupaten Bogor, atas nama PT Garindo Parkasa. Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 KUHPidana.
Sedangkan, untuk tuntutan keenam yakni tindak pidana pencucian uang, Syahrul diduga melakukan pencucian uang dari harta kekayaan hasil korupsi dengan menempatkan uang sebesar Rp 974 juta dan US$ 184 ribu di beberapa rekening istri keduanya, Herlina Triana Diehl.
Duit hasil korupsi juga digunakan untuk membeli sebuah mobil Toyota Vellfire senilai Rp 790 juta, membayar cicilan apartemen di Senopati Office senilai Rp 1,73 miliar, membeli sebuah mobik Toyota Hilux sebesar Rp 327 juta serta membeli polis asuransi senilai Rp 12 juta dan investaai senilai Rp 188 juta. Syahrul juga mencuci uangnya senilai Rp 873 juta dan USD 157 ribu melalui beragam bentuk lainnya. Atas tindakannya ini, Syahrul dikenai pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang juncto pasal 65 ayat 1 KUHPidana.