Jakarta, CNN Indonesia -- Hakim Agung, Prof Dr Gayus Lumbuun, mungkin belum genap tiga tahun menjadi pengadil. Namun di tengah riuh kontroversi penghapusan hukuman mati, dari palu yang diketuknya bersama majelis hakim tingkat akhir, sembilan orang mendapatkan vonis terberat: hukuman mati.
Pada Selasa (11/11) kemarin misalnya, dalam perkara Sisca Yofie, ia menjatuhkan hukuman mati bagi Wawan sang pembunuh. Gayus bersama dua hakim lainnya menganulir putusan sebelumnya yang memutuskan penjara seumur hidup.
Dari sembilan orang yang dihukum kasusnya hampir serupa, yakni pembunuhan dengan cara sadis. Kepada CNN Indonesia, Gayus yang pernah berkiprah sebagai wakil rakyat di DPR RI itu bercerita ihwal pertimbangan serta kegelisahannya saat memutuskan hukuman mati bagi para terpidana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa rasanya memutuskan hukuman mati?Pertama memang itu butuh pertimbangan matang dan pemikiran mendalam. Namun, lihat saja perkara-perkara yang saya putuskan, rata-rata merupakan pembunuhan yang sangat sadis. Bahkan mungkin di luar akal sehat publik. Jadi sebenarnya tak terlalu berpengaruh pada psikologis, lantaran secara logika pun cara-cara penghilangan nyawanya tergolong luar biasa.
Berapa banyak putusan yang selama ini anda putuskan dengan vonis mati?Hingga saat ini sembilan terpidana, namun berasal dari delapan berkas perkara. Semuanya pembunuhan.
Apa yang ada di benak Anda ketika memutuskan hukuman mati bagi seorang terdakwa?Saya mencoba jernih melihat perkaranya. Memang banyak yang terkadang lewat oleh banyak hakim. Namun perlu ditekankan yang memutuskan perkara bukan saya sendiri ada dua hakim agung lainnya.
Apa yang menjadi dasar untuk Anda memutuskan hukuman mati?Biasanya pertimbangan modus, motif dan aturan. Kalau caranya sudah di luar akal sehat manusia, atau kelewat sadis selalu saya putuskan untuk mati. Motifnya, jika memang pembunuhan itu terencana lalu mengandung motif yang juga ada di luar akal, maka sulit memberi ampunan.
Apa sebenarnya yang Anda coba sampaikan kepada publik dalam putusan hukuman mati?Saya ingin mengatakan bahwa menghilangkan nyawa orang lain adalah sebuah kejahatan yang luar biasa. Terlebih lagi jika cara yang digunakan sadis. Namun perlu dicatat dan dicetak tebal kalau setiap vonis yang saya putuskan bukan bertujuan untuk balas dendam korban atau keluarga korban.
Saya terharu dengan keluarga Sisca Yofie yang memohon agar pembunuh keluarganya tak dihukum mati. Namun apa boleh buat, cara yang ditempuh si pembunuh dengan menyeret korban hingga wajahnya hancur, lalu dihabisi lagi, saya tak ragu itu harus hukuman mati.
Maksudnya agar membuat efek jera?Ya benar, efek gentar agar ke depan publik tak lagi seenaknya menghilangkan nyawa seseorang. Hukuman mati bukan bertujuan untuk balas dendam. Jangan ragukan itu. Orang akan takut.
Soal adanya gerakan penghapusan hukuman mati?
Saat saya menjadi politikus di DPR, saya adalah pendukung gerakan itu. Namun berbeda ketika menjadi hakim. Beban untuk berbuat adil menjadi pertimbangannya. Saya sadar kemarin saya pulang dari Manila Filipina dan berdialog soal masalah hukum, banyak negara sudah menghapuskan hukuman itu. Tapi saya pikir Indonesia tak perlu demikian demi berbuat adil.
Bagaimana dengan selanjutnya?Sekarang saya terus mencoba untuk cermat dan bersikap adil. Untuk korban, juga untuk terpidana tanpa mengingkari bahwa setiap orang punya hak hidup, namun bukan berarti juga bisa dengan seenaknya menghilangkan hak hidup orang lain. Jangan ragu Mahkamah Agung tak akan pernah menjadi alat balas dendam salah satu pihak.