KEBEBASAN BERAGAMA

UU Dinilai Jadi Akar Masalah Intoleransi

CNN Indonesia
Senin, 17 Nov 2014 13:56 WIB
Isu toleransi beragama masih menjadi api dalam sekam dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Hal ini terjadi karena regulasi pemerintah Indonesia.
Gubernur Jabar, Ahmad Heryawan (kanan) memberi Obor Perdamaian kepada perwakilan Vihara pada acara
Jakarta, CNN Indonesia -- Isu toleransi beragama masih menjadi api dalam sekam dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Menurut Amnesty International, hal ini terjadi karena regulasi pemerintah Indonesia.

Meskipun banyak perkembangan positif di bidang penegakkan hak asasi manusia di Indonesia sejak 1998, namun kebebasan beragama masih dibatasi secara ketat. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama disebut Amnesty International sebagai akar masalah.

"Aturan ini menjadi patokan pemerintah untuk membentuk peraturan lain seperti pasal 156(a) KUHP," ujar Direktur Penelitian Asia Pasifik dan Pasifik Amnesty International, Rupert Abbott, dalam seminar berjudul Mengadili Keyakinan di Universitas Paramadina, Jakarta, Senin (17/11).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kasus-kasus intoleransi beragama di Tanah Air disinyalir semakin berkembang karena adanya aturan ini. Menurut data yang dihimpun oleh Amnesty International, sejak Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai Presiden, setidaknya ada 106 orang yang diadili dan dijatuhi hukuman menggunakan UU Penodaan Agama. Angka tersebut meroket dari masa pemerintahan Orde Baru yang hanya mencapai 10 orang.

Perwujudan Undang-Undang Penodaan Agama tersebut dianggap tidak sesuai  Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia.

"Dengan menandatangani kesepakatan ICCPR itu, berarti Indonesia memiliki kewajiban internasional untuk menghargai dan melindungi, bukan malah menciderai hak itu," ujar Rupert meneruskan.

Lebih jauh lagi, hal ini akan merugikan bukan hanya orang yang dibui, tetapi juga kelompoknya. Kasus Sampang dijadikan contoh. Hingga kini, 168 anggota komunitas Syiah Tajul Muluk tinggal di penampungan dan tidak mendapatkan hidup layak. Mereka juga kerap mendapatkan intimidasi.

Sebagai upaya untuk menanggulangi masalah tersebut, Rupert mengaku telah mengatur jadwal dengan beberapa kementerian terkait untuk membahas isu ini.
"Salah satu rekomendasi yang akan kami sampaikan adalah untuk menghapus atau merevisi UU Penodaan Agama," pungkas Rupert.

Lebih Peduli dengan Masalah Muslim Luar Negeri

Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrais (Pusad) Paramadina, Ihsan Ali, menyampaikan kritiknya kepada umat Islam di Indonesia yang lebih tanggap dengan masalah muslim di luar negeri daripada di tempatnya sendiri. Kritik tersebut disampaikan dalam diskusi bertajuk Mengadili Keyakinan yang digelar oleh Amnesty International di Universitas Paramadina, Jakarta, pada Senin (17/11).

"Muslim di Indonesia itu suka komplain kalo ada pelanggaran terhadap umat Islam di negara lain, Myanmar dan segala macam, tapi di Indonesia sendiri mereka tidak toleran terhadap umat Islam sendiri," ungkap Ihsan.

Menurut pengajar di Universitas Paramadina ini, hal ini bertentangan dengan salah satu ayat dalam kitab suci Islam.

"Di Al-Qur'an saja ada ayat mengatakan berbuatlah adil bahkan kepada musuh. Jangan double standard seperti itu," ujarnya.

Hal ini, menurut Ihsan, bukan semata-mata hanya tugas pemerintah, tetapi juga lembaga kemasyarakatan.

"Urusan toleransi ngga bisa hanya ditangani oleh negara. NU dan Muhamaddiyah harus mendorong negara supaya lebih tegas," pungkasnya.

Seminar ini juga membahas masalah hukum di Indonesia yang membelenggu kebebasan untuk memeluk suatu kepercayaan.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER