Jakarta, CNN Indonesia -- Jalan Mutiara, di Perumahan Permata, Cengkareng, Jakarta Barat merupakan jalan buntu. Bukan hanya untuk dilalui kendaraan, tetapi juga bagi para bandar yang ingin mendekati si pemilik rumah di pojok kanan jalan. Ya, nama Sheynda Lohy di Kampung Ambon memang jauh lebih ditakuti dari pada nama-nama bandar besar di sana.
Bagaimana tidak, wanita berusia 48 tahun lulusan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia ini bak mengibarkan bendera anti-negosiasi dengan para bandar di Kampung Ambon. Aksinya yang senang memecahkan ban dan kaca mobil tamu ‘tak jelas’ yang parkir di Jalan Mutiara membuat dirinya kian disegani.
Di ruang tamu yang memajang foto-foto keluarga dengan sebuah mini-bar di bagian pojok, Sheynda bersama suaminya, Zeth Lohy, 58, menemui CNNIndonesia. Dia menceritakan kisahnya yang berusaha untuk selalu berdiri tegak di antara tawaran uang segar dari para bandar di Kampung Ambon. Berikut petikan wawancara jurnalis CNN Indonesia, Megiza:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana awalnya anda dapat menjadi orang yang disegani di perumahan ini?Dari semua jalan utama yang ada di sini, Jalan Mutiara ini saja memang yang steril. Soalnya, waktu awal narkotika jenis sabu masuk ke sini saya bilang ke orang-orang, kalau ada yang ketahuan buka lapak atau parkir untuk beli narkotika, saya pecahkan ban dan kaca mobil mereka.
Pernah ada kejadian seperti itu?Pernah. Waktu tahun 2011, ada polisi dari Polda. Parkir di depan jalan ini. Ada tetangga infokan ke saya bahwa itu polisi bukan tamu rumah orang-orang di jalan ini. Saya
pecahin bannya, dan saya tunggu dia kembali. Ketika ketemu dia minta-minta maaf.
Tidak hanya polisi, tentara juga pernah datang ke sini. Tahun 2012. Mobil dinas elf warna hijau, parkir di halaman masjid. Saya
bilang ke orang yang jaga, kalau ada yang datang bukan untuk ibadah, kasih tahu saya. Penjaga waktu itu bilang, si pemilik elf hijau itu jalannya ke arah Jalan Intan. Saya suruh gembok pagar masjid. Saya tungguin dan saya langsung lapor ke Kodim, ke Koramil dekat sini. Ada tujuh orang. Rupanya mereka habis upacara, datang ke sini untuk pakai narkoba.
Apakah ada bandar-bandar yang berusaha mendekati agar mereka tenang?Banyak. Tapi saya enggak pernah mau terima. Ada yang menawari saya sebulan Rp 20juta. Tapi kalau saya terima kan artinya saya tidak bisa
ngomong. Yang lain itu terima, entah itu istrinya atau anaknya. Kalau ada penggerebekan ya mereka langsung kabur. Saya enggak mau repot-repot kabur seperti itu hanya untuk uang.
Apakah tidak ada yang berusaha menjatuhkan nama anda?Itu juga banyak. Saya dianggap sebagian bandar di sini adalah
cepu (mata-mata) BNN, makanya mereka ingin saya tutup mulut. Tapi mereka tidak bisa. Saya juga sempat disebut sebagai bandar besar oleh satu Kasatnarkoba. Sepertinya mereka kesal sama saya. Mereka sakit hati dengan saya. Karena setiap diajak bertemu dengan petugas, saya selalu bicara keras dengan mereka.
Saya selalu bilang, kalau mau berantas ya benar-benar berantas! Jangan ketika sudah sampai di sini malah tadah tangan di belakang. Akhirnya, karena mulut saya, beberapa polisi saya dengar dimutasikan.
Operasi narkoba di sini yang paling ramai, yang anda ingat?Ada banyak. Tahun 2004 salah satunya. Ada satu wartawan datang dengan polisi. Ketika sudah pecah dan warga di sini sudah keluar bawa parang, itu wartawan ketinggalan. Akhirnya dia kena dikepung dan dipukuli dengan batu bata oleh orang-orang di sini. Saya lihat itu, saya terobos itu orang-orang yang sedang mukulin. Itu wartawan kepalanya sudah basah dengan darah. Saya teriak ke orang-orang di sini untuk berhenti. Saya bilang, kalau ada yang sentuh lagi ini orang, urusannya sama saya. Baru orang-orang berhenti dan ninggalin itu wartawan. Berselang dua tahun saya bertemu lagi dengan dia. Dia panggil saya, ternyata dia masih ingat dengan saya.
Anda memilih sikap untuk tegas, apakah ada pemicunya sampai Anda berani berdiri melawan para bandar?Kematian adik saya pada 31 Januari 2011. Namanya, John Svendpry. Dia meninggal umur 36 tahun karena dijadikan tameng oleh bandar-bandar. Bandar yang pertama kali suruh adik saya ikut jual ganja itu punya pasien orang-orang kepolisian. Bandar itu rupanya sakit hati sama adik saya. Akhirnya dia suruh pasiennya itu untuk nembak adik saya. Pelurunya tembus dari paha kanan ke paha kiri. Adik saya kehabisan darah. Saya tahu adik saya pemakai. Dia seperti itu karena frustrasi. Dia pernah meminta untuk direhab. Tapi ternyata tidak sempat.
Sampai kapan rencananya anda akan menjaga lingkungan ini dari narkoba?Sampai kampung Ambon ini kembali terang. Kalau saya
enggak punya iman, saya sudah keluar dari dulu. Saya punya satu harapan
pengen jadi terang di sini. Kalau saya
enggak punya Tuhan mungkin saya tidak akan lama di sini. Saya selalu berdoa untuk dapat membuat lingkungan ini terang lagi. Kalaupun saya ternyata harus mati tertembak di sini karena ada operasi-operasi lagi nantinya, ya itu mungkin sudah jalan Tuhan yang
pengen saya mati di sini.