Jakarta, CNN Indonesia -- Pemukiman Permata yang berada di Kelurahan Kedaung Kaliangke, Cengkareng, Jakarta Barat perlahan-lahan kini mulai menampakkan sinarnya. Padahal sebelumnya, sebanyak 315 warga di sana dipastikan pernah mencicipi dinginnya hidup di balik terali besi.Rata-rata dari mereka adalah bandar, pengedar dan pengguna narkotika.
Kondisi itu berubah sekitar dua tahun lalu. Seusai Kepolisian Resort Jakarta Barat menggempur habis-habisan para bandar narkotika di Pemukiman Permata. Pemukiman Permata lebih tenar disebut Kampung Ambon. Itu tak mengherankan sebab lebih dari separuh warganya merupakan keturunan dari Kepulauan Maluku.
Kampung Ambon masuk ke dalam wilayah RW 07 Kelurahan Kedaung Kaliangke, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Kisah seru bermula pada akhir 1999, Kampung Ambon saat itu mulai dikenal sebagai kawasan yang merdeka bagi pedagang narkotika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kala itu, ganja menjadi produk utama yang ditawarkan oleh beberapa warga yang menjadi bandar. Lambat laun itu kemudian menjadi besar dan beragam.
"Banyak warga yang berjualan terang-terangan. Berdiri di ujung-ujung gang menjadi cara mereka menanti kedatangan sang pelanggan," kata Sheynda Lohy, Ketua Rukun Tetangga 07 Kampung Ambon, saat ditemui CNN Indonesia Rabu (27/8).
"Kala itu, banyak warga terpaksa tutup mata menyaksikan perdagangan terang-terangan yang dilakukan oleh bandar-bandar ganja saat itu."
Letak Kampung Ambon yang dekat dengan Bandara Soekarno-Hatta menjadi faktor lancarnya suplai narkotika. Pengiriman ganja dari Aceh pada awal masa jayanya Kampung Ambon lancer seolah tak bersekat.
"Bandar yang juga warga kala itu kiriman boks-boks ganja yang diturunkan langsung di depan rumah," kata Sheynda yang sejak tahun 1973 bermukim di Pemukiman Permata. "Topengnya itu ganja dimasukan dalam boks rokok, dan warga cuek saja."
Seiring berjalannya waktu, ekspansi narkotika ke Kampung Ambon pun kian menjalar. Tiak hanya ganja, obat psikostimulansia yang mempunyai kandungan utama metamfetamin alias sabu dan ekstasi alias Inex mulai merambah sepuluh tahun kemudian. "Pada 2009 itulah mulai berdiri lapak-lapak (rumah yang dijadikan toko penjual narkotika dan obat-obat terlarang)," kata Sheynda.
Jika pada awal masuknya ganja ke perumahan ini mengharuskan si pedagang menunggu pelanggan di ujung gang ataupun jalan, maka ketika sabu dan inex mulai menjadi produk jualan, sang bandar membuka pintu rumahnya dengan lapang sebagai toko sekaligus tempat memakai narkoba.
Proses jual-beli dan pakai-di-tempat seperti itu ternyata tak lagi membuat warga acuh, namun dibukanya lapak-lapak tersebut bagaikan terbukanya sebuah lapangan kerja baru bagi mereka.
"Tetangga yang tadinya bodo amat, akhirnya ikutan kerja dengan bandar. Karena mereka melihat pekerjaan itu enak. Duduk saja pasti dapat duit. Akhirnya semua pada terjun (ke bisnis narkoba)," ungkap Sheynda.
Pada saat lapak-lapak mulai menjamur, hampir semua warga yang dipekerjakan sebagai karyawan lapak mendadak kaya. Bagaimana tidak, untuk seorang tukang parkir saja, sedikitnya uang sebanyak Rp 800ribu akan memenuhi dompetnya per hari.
Selain tukang parkir, ada juga posisi sebagai keamanan, penimbang, penyangklong dan juga tester. Uang sebesar Rp 10 juta per hari bisa dibawa pulang oleh sang penimbang. Sedangkan, para bandar mampu mengeruk uang panas hingga Rp 30 juta per harinya.
"Itu baru yang diterima dari bossnya si penimbang. Belum lagi tip-tip yang mereka dapat dari pasien," kata Sheynda.
Petang mulai merembang di Kampung Ambon. Gang yang dulu diceritakan Sheynda sebagai tempat transaksi kini bersih sekali. Tak ada tapak transaksi di sekitarnya. Bahkan cenderung sepi. Sepi sekali.