Jakarta, CNN Indonesia -- Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) menemukan peredaran kosmetika ilegal dan tidak memenuhi syarat sepanjang tahun 2014 sebanyak 320.697 kemasan. Jumlah ini mengalami peningkatan 30 persen dari temuan tahun lalu.
Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Roy Sparringa mengatakan, belakangan ini jumlah produk kosmetika ilegal dan tidak memenuhi syarat memang meningkat. "Di Jakarta saja kosmetik mencapai Rp 2 miliar," ujar Roy.
Jumlah tersebut hampir mencapai 100 persen dari seluruh obat dan makanan ilegal yang dimusnahkan BPOM senilai Rp 2,1 Miliar.
Ketua BPOM DKI Jakarta Dewi Prawitasari menyatakan, tingginya angka peredaran kosmetika ilegal dan tidak memenuhi syarat disebabkan oleh supply dan demand yang masih tinggi. "Masyarakat maunya instan, mau cepat putih kulitnya. Yang instan itu yang ilegal," kata Dewi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Roy menambahkan, yang tergolong kosmetika ilegal umumnya mengandung bahan kimia yaitu pemutih. "
Mercury dan
hydroquinon sering kami temui," ujarnya.
Kedua bahan tersebut merupakan bahan berbahaya dan tidak bisa digunakan manusia karena bersifat karsinogenik. Untuk menghindari produk tersebut, Dewi mengimbau masyarakat memerhatikan label dalam kemasan sebelum membeli.
"Perhatikan nama produk, komposisi, nomor izin edar, tanggal produksi dan daluarsa, juga label peringatan," kata Dewi.
Dewi mengimbau masyarakat untuk memerhatikn nomor registrasi dari BPOM. "Sekarang label yang resmi kodenya NA, menunjukkan kosmetik dari Asia," ujarnya.
Saat ini di pasar beredar beberapa kode registrasi BPOM. Ada kode CD yang menunjukkan kosmetik dalam negeri, kode CL untuk kosmetik dari luar negeri, dan NA. Untuk kode CD dan CL, lanjut Dewi, kosmetik tersebut sudah dicabut izin edarnya sejak 2013.
"Sekarang sedang masa transisi. Kode CD dan CL harus ditarik," katanya.
Dia menargetkan, penarikan kosmetik dengan kode tersebut hingga 15 Oktober 2015. Namun dalam pelaksanaannya pihak terkait meminta perpanjangan waktu sampai tahun depan.
Untuk pihak yang masih nakal, Dewi memastikan memberi sanksi sesuai peraturan yang berlaku. "Denda minimal Rp 100 juta, maksimal 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 1,5 miliar," ujarnya.