Jakarta, CNN Indonesia -- Rumah sakit sebagai penyedia fasilitas kesehatan dalam sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) mengaku tarif perawatan peserta tak mendatangkan laba. Padahal rumah sakit juga harus mendapatkan untung dari usaha yang dijalankan. Pada akhirnya yang menjadi korban adalah pasien sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Wasista Budi Waluyo, Kamis (18/12) menyatakan, dalam skema BPJS Kesehatan, terdapat tiga pihak yang terlibat yaitu BPJS, pasien atau peserta , dan rumah sakit sebagai penyedia fasilitas kesehatan. Jika salah satu dari pemain tersebut lumpuh, maka semua akan terhambat.
Menurut Wasista selama ini rumah sakit tidak puas soal tarif yang diberlakukan. Pasalnya, tarif pengobatan yang ditentukan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 tahun 2014 sangat rendah. Dalam aturan tersebut, terdapat 39 golongan tarif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari keseluruhan golongan tarif, Wasista mengelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu tarif untuk biaya perawatan jangka pendek dan jangka panjang. Perawatan jangka pendek diakui Wasista sebagai favorit penyedia fasilitas kesehatan. "Karena biayanya kecil," katanya dalam diskusi publik di Menteng, Jakarta.
Dari tarif yang disediakan, penyedia fasilitas kesehatan dapat menekan biaya sehingga mendapatkan laba. Sementara jika menangani pasien jangka panjang yang mayoritas berpenyakit parah, tentu biaya yang dikeluarkan rumah sakit membengkak, laba pun tak didapatkan.
Saat inilah subsidi silang dilakukan. Anggaran sisa dari pengobatan jangka pendek dipakai untuk menutup kekurangan biaya perawatan jangka panjang. Akhirnya pengelola rumah sakit menurut Wasista susah untuk mendapatkan laba.
"Kami susah mengumpulkan laba, kapan investasi bisa kembali," katanya. Karena itu menurutnya wajar jika selama ini rumah sakit lebih memilih kasus yang menguntungkan. Inilah yang menyebabkan ada kecenderungan melempar pasien dengan kasus penyakit parah untuk menghindari defisit. "Lebih baik rujuk ke rumah sakit yang lebih tinggi," katanya.
Kecenderungan ini yang membuat banyak pasien kebingungan, tak sedikit kasus menelan korban jiwa.
Faktor ini menurut Wasista yang membuat penyedia fasilitas kesehatan untuk peserta BPJS tak mengalami perkembangan. Pada awal tahun ini ada 1.500. Hingga November lalu menurutnya baru bertambah menjadi 1.550. "Sangat sedikit dan cenderung tidak berkembang," ujarnya.
Untuk itu, Wasista menganggap penentuan tarif adalah hal krusial. "Tarif jadi hal pokok untuk memancing mereka jadi provider (penyedia faskes)," kata Wasista.
Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany juga menilai sudah saatnya tarif pasien BPJS ini ditingkatkan. "Tarif ini memang seharusnya ditingkatkan," katanya.