Jakarta, CNN Indonesia -- Pemindahan atau mutasi guru diperlukan untuk mengatasi kesenjangan jumlah pendidik di perkotaan dan pedesaan. Sayangnya sejumlah mutasi guru didasari oleh alasan politis ketimbang kebutuhan sekolah. Hal tersebut diungkap Indonesia Corruption Watch dalam pemaparan hasil penelitian mereka di Hotel Grand Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (22/12).
"Guru menjadi komoditas politik dalam ajang pemilhan kepala daerah. Ada lebih dari 10 persen guru di Buton menjadi alat politik," kata Rasyid Rasiki, peneliti dari Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara.
Mutasi pun dilakukan secara negatif, terutama bagi kelompok guru yang ‘kalah’ dalam pilkada. Sementara kelompok guru yang ‘menang’ diangkat menjadi pejabat baru atau kepala sekolah, bahkan dipindahkan dari daerah terpencil ke perkotaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kelompok guru ‘kalah’ yang dimaksudkan itu ialah guru-guru yang merupakan pendukung calon kepala daerah yang kalah dalam pilkada. Sementara kelompok guru yang ‘menang’ ialah guru-guru pendukung calon yang memenangi pilkada.
Mutasi karena faktor politis itu mengakibatkan daerah terpencil makin kekurangan guru. Apalagi berdasarkan hasil survei Teacher Report Cards, sebanyak 87,50 persen guru di perkotaan enggan dimutasi ke sekolah terpencil.
“Ada juga guru yang bersedia dipindahkan ke desa terpencil hanya untuk memenuhi syarat sertifikasi, yaitu 24 jam mengajar,” kata Rasyid.
Padahal kondisi sekolah di pedalaman masih amat memprihatinkan. Di SMPN Satap 6 Wasuamba Buton misalnya, rasio guru-murid adalah 1:98. Sementara di SDN 1 Wasuamba Buton, rasio guru-murid adalah 1:113.
Hal serupa juga terjadi di sekolah-sekolah di pedalaman Garut, Jawa Barat. Rudi Yudhistira, peneliti dari Garut Governance Watch mengatakan, rasio guru-murid di pedalaman Garut ialah 1:113, 1:115, sampai 1:206.
“Banyak guru PNS yang telah lama bertugas di sekolah-sekolah perkotaan, bertahan untuk tidak dimutasi ke daerah terpencil. Sekolah-sekolah di kota juga sering mempertahankan guru-guru PNS yang memiliki prestasi di sekolah,” ujar Rudi.
Hasil penelitian ICW menyimpulkan Penataan dan Pemerataan Guru PNS gagal mencapai target. Banyak guru PNS menumpuk di sekolah di wilayah perkotaan, sedangkan sekolah di daerah terpencil masih kekurangan guru.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, guru SD saat ini paling banyak di Jawa Timur, yaitu berjumlah 220.479 orang, sedangkan paling sedikit di Papua Barat yaitu 3.396 orang. Sementara guru SMP paling banyak di Jawa Barat, yaitu 82.971 orang, dan paling sedikit juga di Papua Barat, yaitu 1.727 orang.