Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo didesak membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penyelesaian Konflik Agraria. Satgas tersebut terdiri dari elemen masyarakat adat, pemerintah, dan lembaga terkait lainnya. Selama periode tertentu, satgas memiliki misi khusus untuk merampungkan permasalahan laten tersebut.
"Saya sudah usulkan ke Pak Jokowi, untuk membentuk satuan tugas terkait penyelesaian konflik agraria. Bukan lagi pemetaan konflik tapi harus ada penegakan hukum. Jokowi menjawab ya saya paham, akan segera saya bicarakan," kata pegiat agraria Eva Bande dalam acara "Catatan Akhir Tahun 2014" Konsorsium Pembaruan Agraria di Cikini, Jakarta, Selasa (23/12).
Langkah tersebut, menurut Eva harus dilakukan lantaran nihilnya mekanisme penyelesaian secara integrasi. Hal senada diutarakan Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi. Dianto mengatakan apabila tidak dibuat lembaga khusus maka konflik tidak akan pernah selesai.
Ia berpendapat, "Ini akan semakin menggandul dan jumlah semakin bertambah." Terlebih, saat ini sekitar 60 persen dari daratan Indonesia dialokasikan kegiatan bisnis termasuk kawasan hutan atau non kawasan hutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami mengusulkan pembentukan komisi nasional untuk konflik agraria agar dapat diselesaikan dalam periode waktu tertentu, singkat, dan hak rakyat dipulihkan. Maka kita dapat melakukan law enforcement yang baru," ujar Dianto dalam acara tersebut. Pihaknya mengatakan, usulan tersebut sempat diajukan saat mantan Presiden Megawati berkuasa namun ditolak lantaran tidak ada dukungan dari pihak terkait seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN) .
Ia menuturkan lembaga yang kini mempunyai kewenangan untuk mengani persoalan tersebut belum memadai. Tiap kementerian dan lembaga memiliki unit atau direktorat namun belum terintegrasi. "Yang diruus dalam konteks ini hanya persoalan administratif dari terbit izin tetapi tidak menyangkut tanah yang sudah dirampas dari masyarakat," ujarnya.
Sementara itu, mekanisme melalui oengadilan juga kerap kalu menemui jalan buntu. "Untuk konflik agraria di pengadilan, masuknya perdata atau pengadilan tata usaha negara (PTUN). Kalau PTUN banyak problem administratif yang tidak pernah tepenuhi," ujarnya. Dianto menyatakan apabila surat tanah yang dikeluarkan sudah lebih dari 10 atau 20 tahun, maka seringkali gagal memenangkan perkara.
Dalam pengadilan perdata, merujuk catatan Komnas HAM, hanya kurang dari satu persen perkara dimenangkan masyarakat. "Artinya, 99 persen dimenangkan kebanyakan oleh korporasi. Ini persoalan proses peradilan," katanya.
Mekanisme lainnya yakni melalui mediasi di luar pengadilan. Namun kenyataannya, kerap kali alot dan memakan waktu yang lama untuk merumuskan konsesus yang disepakati seluruh pihak terkait. "Belum tentu settle karena para pihak tidak menyetujui poin yang disepakati," ujarnya.
Merujuk catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria, jumlah konflik agraria di Indonesia terus meningkat dalam lima tahun belakang. Pada tahun 2014, terdapat 472 konflik. Angka tersebut meningkat dari tahun 2013 yang berada pada level 369 konflik. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2009 (89 konflik), 2010 (106 konflik), 2011 (163 konflik), dan 2012 (198 konflik).