Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo didesak untuk mengkaji ulang kebijakan hukuman mati. Pasalnya, hukuman tersebut dinilai berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
"Waktu 2,5 bulan memerintah Indonesia masih terlalu dini bagi Presiden Joko Widodo untuk melumuri tangannya dengan kebijakan yang berdarah," kata Direktur Lembaga Pengawas dan Penyelidikan HAM Imparisial Poengky Indarti melalui pernyataan kepada CNN Indonesia, Kamis (15/1).
Sejumlah pegiat HAM juga berharap Jokowi menganulir eksekusi bagi enam terpidana mati yang akan dilaksanakan pada 18 Januari 2015. "Kami berharap Jokowi melaksanakan moratorium bagi hukuman mati di Indonesia, dan mengganti dengan hukuman seumur hidup bagi mereka yang benar-benar terbukti bersalah," ujar Poengky.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terlebih, dasar hukum berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dianggap tak lagi kontekstual dengan perkembangan zaman dan logika penegakan hukum. Poengky menjelaskan, KUHP mengadopsi produk peninggalan Belanda yakni
Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie tahun 1918.
"Pada masa itu, sifat penghukuman adalah pembalasan. Hal tersebut berbeda dengan sifat penghukuman pada masa modern saat ini, yaitu memperbaiki sifat dan sikap pelaku," katanya.
Poengky berpendapat, hukuman mati justru tak akan memberi efek jera. Kriminalitas justru tak akan tumbang begitu saja apabila sistem hukum masih saja korup.
"Semakin rentan bahwa hukum hanya bersifat tajam ke bawah dan tumpul ke atas," ujarnya.
Jaksa Agung HM Prasetyo telah mengumumkan eksekusi mati yang akan digelar di Nusa Kambangan dan Boyolali untuk enam terpidana narkoba, Kamis (15/1) sore.
Mereka yakni Ang Kim Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommy Wijaya (Warga Negara Belanda), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (Warga Negara Nigeria), Marco Archer Cardoso Moreira (Warga Negara Brazil), Namaona Denis alias Solomon Chibuike Okafer (Warga Negara Malawi), Rani Andriani alias Melisa Aprilia (Warga Negara Indonesia), dan Tran Thi Bich Hahn (Warga Negara Vietnam).
Kejaksaan Agung tetap melangsungkan eksekusi sesuai kesepakatan bersama antara lembaga negara dan lembaga penegak hukum yang digelar di Kementerian Hukum dan HAM, Jumat (9/1). Dalam pertemuan tersebut, pemerintah, Jaksa Agung, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi sepakat untuk mengekusi terpidana mati yang grasinya telah ditolak oleh Presiden.
Dalam pertemuan tersebut, pemerintah juga mendukung Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 7 Tahun 2014 yang membatasi pengajuan Peninjuan Kembali (PK). MA melandaskan pada dua pasal yakni Pasal 24 ayat 2 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat 1 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA. Keduanya mengatur pembatasan PK hanya satu kali.
Namun MA masih membolehkan pengajuan PK kepada pelaku tindak pidana maupun perdata jika putusan PK pertama yang telah diajukan bertentangan dengan putusan pengadilan sebelumnya. Peraturan tersebut termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009.
Tafsiran dalam SEMA tersebut memecah kebuntuan soal PK yang dianggap menghambat eksekusi hukuman mati. Sedianya, eksekusi tersebut digelar pada Desember 2014.
Eksekusi Mati di Negara LainMerujuk data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), hingga 10 Oktober 2014, lebih dari 130 terpidana mati di Indonesia menunggu eksekusi selama 10 tahun. Sebanyak 60 orang di antaranya terjerat kasus narkoba, 68 lainnya untuk kasus pembunuhan, dan dua orang divonis karena kasus terorisme.
Merujuk data Komisi HAM ASEAN, sejumlah negara ASEAN tercatat masih menerapkan hukuman mati tahun 2013. Indonesia diketahui telah mengeksekusi lima terpidana mati dari 16 kasus.
Sementara Malaysia telah mengeksekusi dua dari 76 kasus. Tujuh dari 148 kasus terjadi di Vietnam, telah dieksekusi. Thailand, pada tahun yang sama, menjatuhkan vonis mati kepada 112 terdakwa namun hingga kini belum dieksekusi. Brunei Darussalam memvonis mati enam orang dan belum mengeksekusi satu pun.
Myanmar menjatuhkan vonis mati 235 orang, Singapura memvonis satu orang, dan Laos menghukum tiga orang. Meski demikian, ketiganya belum mengeksekusi vonis tersebut. Berbeda dengan negara lain, Filipina dan Kamboja secara tegas sudah menghapuskan hukuman mati, masing-masing pada tahun 2006 dan 1989.
(rdk/obs)