EKSEKUSI TERPIDANA MATI

Diplomasi RI Selamatkan WNI di Luar Negeri Bisa Lebih Sulit

Ranny Virginia | CNN Indonesia
Sabtu, 17 Jan 2015 18:21 WIB
Ada asas timbal balik dalam hubungan diplomatik, dan kalau Indonesia juga memberlakukan hukuman mati, itu suatu hubungan yang kontra produktif.
Jaksa Agung HM Prasetyo (tengah) didampingi jajarannya saat memberikan keterangan kepada wartawan mengenai pelaksanaan eksekusi mati terpidana kasus narkotika di kantor Kejagung, Jakarta, Kamis (15/1).ANTARA FOTO/Reno Esnir
Jakarta, CNN Indonesia -- Dari keenam narapidana kasus narkoba yang akan dieksekusi mati pada Ahad (18/1) dini hari nanti, lima di antaranya merupakan warga negara asing. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Hafid Abbas menilai diplomasi Indonesia untuk menyelamatkan warga negaranya yang terjebak kasus pidana hukuman mati di luar negeri akan lebih sulit, jika di Indonesia sendiri juga menerapkan hukuman tersebut bagi warga negara asing di Tanah Air.

"Karena ada asas timbal balik dalam hubungan diplomatik dan kalau Indonesia juga memberlakukan hukuman mati, itu suatu hubungan yang kontra produktif," ujar Hafid kepada CNN Indonesia, Sabtu (17/1).

Hafid menjelaskan, Indonesia memiliki sejumlah catatan mengenai warganya yang berada di luar negeri dan terpidana hukuman mati. "Ada lebih dari 200 yang dijatuhi hukuman mati, terutama di Arab Saudi dan Malaysia," ujar Hafid merujuk pada data Komnas HAM.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hafid melihat ada beberapa negara yang memberlakukan hukuman mati, terutama negara Islam, namun banyak juga yang telah menghapus sistem hukum ini karena dinilai tidak memiliki dampak yang cukup untuk menuntaskan permasalahan. "Ada lebih dari 130 negara yang melakukan moratorium ini," ujar Hafid menambahkan.

Namun bagi Indonesia, penerapan hukuman mati adalah sebuah dilema karena berkecenderungan memiliki sistem hukum yang tak lepas dari norma sosial, salah satunya norma agama, dan dunia perlu melihat dari sudut pandang ini.

"Dalam agama juga dikenal hukuman mati. Sulit membangun sistem hukum yang jauh berbeda dari norma sosial," ujar Hafid.

"Ini (penetapan hukuman mati) bukan keputusan presiden tetapi Mahkamah Agung yang telah melakukan banding lalu ditolak. Satu-satunya upaya lanjutan adalah meminta grasi dari presiden dan presiden hanya mengikuti keputusan Mahkamah Agung, ia juga mendapat dukungan dari tokoh agama," ujarnya menambahkan.

Menurut data dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) tahun 2013, pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono diketahui ada sebanyak 24 narapidana yang telah dieksekusi mati, tujuh di antaranya merupakan warga negara asing yang terlibat kasus narkoba.

Sementara pada masa pemerintahan Joko Widodo, angka kejahatan narkotika diketahui tidak mengalami penurunan, begitu pula dengan jumlah pecandu atau pemakai narkotika di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa hukuman mati dinilai tidak efektif untuk menurunkan, bahkan menghapus rantai sindikat narkoba yang terjalin di Indonesia, termasuk yang diperankan oleh warga negara asing.

Hafid menganggap sistem hukum di Indonesia yang lemah menjadi penyebabnya dan hal ini harus segera dibenahi. Ia membandingkan sistem hukum di negara tetangga, seperti Australia, Singapura dan Malaysia memiliki kualitas yang sangat baik dan terbukti ampuh membuat jaringan narkoba internasional agar tidak berani masuk ke wilayah tersebut.

"Mungkin mereka melihat Indonesia adalah pasar yang baik. Bisa saja mereka melihat aparat hukum yang belum kuat, berbeda dengan Singapura dan negara lain," ujar Hafid.

Eksekusi mati teroris
Masih merujuk pada data KontraS tahun 2013, selain tujuh terpidana mati kasus narkoba, ada sebanyak 14 orang yang dihukum mati karena kasus pembunuhan berencana dan tiga orang lainnya karena kasus terorisme.

Kasus terorisme ini adalah yang paling menarik perhatian dunia internasional karena memidana Imam Samudra, Amrozi dan Ali Gufron alias Mukhlas yang terbukti bersalah atas serangan terorisme Bom Bali 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang. Ketiganya kemudian dieksekusi pada 9 November 2008 di Lapas Nusa Kambangan, Jawa Tengah.

Hafid menilai bentuk untuk kasus narkoba dan kasus terorisme memiliki suatu degradasi yang berbeda, namun memiliki dampak yang relatif sama yaitu terdapat korban jiwa yang cukup banyak sehingga dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa.

"Kalau terorisme, kami melihat ada korban jiwa. Kalau narkoba, itu melalui proses. Tidak mengonsumsi lalu meninggal dunia," ujar Hafid yang menambahkan ada setidaknya 50 orang meninggal dunia setiap hari karena narkoba, menurut laporan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Namun, sebagian besar pihak merasa penerapan hukuman mati tidak dibenarkan dan bertentangan dengan asas kemanusiaan di mana setiap individu berhak untuk hidup.

Salah satu tokoh agama menilai hukuman mati tidak etis diimplementasikan di Indonesia, meskipun ada beberapa negara lain yang masih memberlakukan hukuman ini.

"Hukuman mati tidak dapat dibenarkan dan seharusnya di negara Indonesia ini ditiadakan dari hukuman pidana," ujar Romo Frans Magnis Suseno, Sabtu (17/1).

Lebih lanjut Frans menjelaskan bahwa hukuman mati untuk kasus kejahatan apapun tidak boleh dilakukan, baik itu kejahatan kecil atau bahkan kejahatan luar biasa, seperti narkoba atau terorisme.
(obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER