Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan pilot maskapai Garuda Indonesia, Shadrach Nababan, menegaskan pesawat terbang jenis Airbus mustahil mengalami kondisi kehilangan daya angkat akibat aliran udara tak mengalir atau lebih dikenal dengan istilah
stall.
"Pesawat generasi sekarang gak bisa
stall, misalnya Airbus. Seandainya ada kekeliruan, komputer akan langsung mengambil alih dan mengatur sudut sehingga pesawat tak bisa
stall," katanya di Wisma Antara, Jakarta, Rabu (21/1).
Pernyataan tersebut dikeluarkan menyusul adanya keterangan dari Menteri Perhubungan Ignatius Jonan kepada Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kalau pesawat AirAsia QZ8501 mengalami keadaan
stall sebelum akhirnya naik dengan kecepatan tak wajar dan 'terjun bebas'.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Shadrach mengatakan cuaca buruk, termasuk awan kumulonimbus (CB) merupakan beberapa penyebab sudut serang
(angle of attack) pesawat melebihi batas normal. Namun, dia mengatakan teknologi yang diterapkan pada pesawat Airbus dapat menanggulangi kondisi ekstrem tersebut tanpa tindakan dari pilot.
"Secara otomatis akan menyelamatkan," katanya.
Lelaki yang telah menerbangkan pesawat komersial selama 42 tahun ini mengatakan dalam kokpit pesawat Airbus terdapat lima komputer untuk mengontrol penerbangan, tiga komputer data penerbangan, tiga komputer navigasi dan tiga
Global Positioning System (GPS). Jumlah tersebut, katanya, diciptakan untuk mencegah kerusakan salah satu instrumen.
"Dibuat berulang. Jadi, kalau satu mati masih ada komputer lain. Memang bisa saja komputer itu semua mati, tapi kemungkinannya sangat kecil," ujarnya.
Selain teknologi yang mutakhir, adanya pilot dalam sebuah penerbangan juga memperkecil kemungkinan pesawat Airbus mengalami kehilangan daya. Pilot, menurut Shadrach, berkewajiban selalu mengatur mitigasi.
"Apapun kendala yang akan dihadapi pesawat dalam perjalanan, pilot diharuskan mampu mengatasinya. Itulah pekerjaan pilot," ujar dia.
Shadrach mengatakan saking canggihnya teknologi Airbus, perusahaan asal Perancis ini bahkan pernah meniadakan simulasi matinya perangkata komputer pada kokpit.
"Simulator Airbus tidak dirancang untuk pelatihan kondisi 'stall', mereka harus mencopot secara manual beberapa bagian alat itu," kata dia.
Namun, setelah kecelakaan pesawat Airbus AirFrance pada 2009, pihak Airbus akhirnya mau mengadakan pendidikan wajib bagi semua pilot. Pada saat itu, para pilot diajarkan melakukan tindakan darurat mengembalikan kondisi ekstrim ke normal.
"Airbus tadinya tidak mau menggelar pendidikan ini karena mereka yakin pesawat buatan mereka tidak akan mengalami kondisi ekstrem. Tapi karena otoritas penerbangan internasional memaksa, mereka akhirnya mengalah," ucapnya.
Dalam laporan akhir BEA, sebuah badan investigasi Perancis yang ditunjuk menangani kasus AirFrance, diketahui pesawat tujuan Rio de Janeiro ke Paris tersebut mengalami kehilangan daya.
Shadrach mengatakan sistem referensi inertial pesawat tersebut rusak sehingga pilot tidak bisa mengendalikan pesawat.
"Akibatnya, dia tidak tahu kecepatan pesawat sebenarnya saat itu berapa. Jadi, sudah ngaco semua," ujar dia.
(utd/sip)