Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --
Utami Diah Kusumawati adalah wartawan CNN Indonesia. Tulisan opini ini sepenuhnya tanggung jawab penulis.Empat tahun silam, seorang aktivis pendidikan Indonesia (alm) Utomo Dananjaya berkata lantang ke media: "Saya menentang Ujian Nasional".
Di mata mantan Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina tersebut, metode penilaian melalui UN sudah usang dan hanya berdampak berat secara psikologis bagi para siswa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa penyebabnya? Proses pembelajaran selama tiga atau enam tahun luruh oleh deret angka yang didapat dalam ujian selama beberapa hari tersebut. Pasalnya, UN dijadikan sebagai syarat utama kelulusan siswa.
Banyak kisah lantas didapat dari UN. Di Tasikmalaya, Jawa Barat dan Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) ribuan siswa dan guru ramai-ramai melakukan doa bersama dan sholat Istighosah di mesjid raya agar murid lulus UN.
Lembaran kertas berisi doa dan ayat Al-Qur'an menjadi pegangan meminta keajaiban Tuhan agar makbul mengerjakan ujian yang berlangsung selama beberapa hari tersebut.
Ujian Nasional menjadi sesuatu hal yang sakral dan menakutkan sehingga murid dan guru perlu menyugesti diri mereka dengan melakukan berbagai cara. Berdoa dan sholat bersama menjadi salah satu cara yang diambil untuk memohon Tuhan agar tak ada murid dinyatakan tidak lulus akibat nilai UN jeblok.
Cara lain adalah dengan belajar mati-matian menjelang Ujian Nasional. Seorang teman penulis, semasa Sekolah Dasar bahkan sampai meninggal dunia karena memforsir belajar untuk UN. Terjaga larut malam setiap hari dan minum kopi berbungkus-bungkus dilakoni untuk menemaninya menyerap materi pelajaran ketika orang lain di keluarganya sudah terlelap. Sehari sebelum pelaksanaan UN, teman tersebut masuk Rumah Sakit dan meninggal hanya beberapa jam sebelum UN dimulai.
Bagi yang tidak lulus, kondisinya juga sama ironis. Seorang siswi SMK di Banyuwangi, Jawa Timur, misalnya mencoba bunuh diri dengan menenggak puluhan pil karena gagal lulus.
Sementara itu, di Maros, Sulawesi Selatan, seorang siswi SMA PGRI meminum racun serangga setelah mengetahui tidak lulus Ujian Nasional.
"Saya malu, takut dimarahi papi karena tidak lulus UN," kata Riska pada 27 April 2010.
Namun, meskipun UN sudah terbukti memakan korban, pelaksanaan UN sebagai penentu kelulusan siswa terus diberlakukan pemerintah.
UN - kelanjutan dari EBTANAS - diperkenalkan oleh Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, Bambang, yang mantan Menteri Keuangan dan seorang ekonom menjadikan UN sebagai penentu kelulusan siswa.
Kebijakan UN 'penentu' tersebut lantas mendapat kritik banyak pengamat pendidikan serta ikatan guru. Tak peduli kritik, UN tetap dilanjutkan pada masa Mendikbud Muhammad Nuh, yang juga di bawah kepemimpinan SBY.
Kala itu, Nuh menyatakan kepada media, pelaksanaan UN menjadi penting untuk mengukur tingkat keberhasilan kegiatan belajar mengajar di setiap daerah.
Lebih jauh lagi, Nuh menilai UN yang tidak dijadikan sebagai syarat kelulusan siswa akan menyebabkan peserta ujian tidak serius mempersiapkan diri.
"Kalau UN tidak menentukan, nanti peserta menjawab sembarangan. Jauh lebih baik untuk menentukan kelulusan juga untuk melihat standar pencapaian di tingkat nasional," kata Nuh kepada wartawan, sembari menunjukkan nilai UN terendah di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Syarat Kelulusan Siswa DihapuskanUtomo Dananjaya, yang juga menulis buku Media Pembelajaran Aktif tak pernah mengetahui bahwa salah satu anak didiknya di Universitas Paramadina, Anies Baswedan, meneruskan perjuangan tanpa lelah lelaki sepuh itu semasa hidupnya.
Sobat akrab (alm) Nurcholis Madjid tersebut sudah lebih dulu menghadap Tuhan pada Juli 2014 lalu, akibat stroke.
Namun, pemikirannya mengenai konsep UN diteruskan oleh Anies Baswedan, mantan rektor Universitas Paramadina yang kini menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Joko Widodo.
Momok yang selama ini mengancam siswa dihapuskan. UN diubah, tak lagi menjadi syarat tunggal penentu kelulusan siswa.
"Tidak ada istilah lulus dan tidak lulus dalam UN sekarang. Yang ada hanyalah apakah nilai UN sudah mencapai nilai kompetensi yang sudah diharapkan siswa atau belum, " kata Anies di Gedung Kemendikbud, Jumat (23/1) kemarin.
Pernyataan tersebut mendapat apresiasi dari banyak pihak, termasuk pihak Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan beberapa pakar pendidikan.
Penentuan kelulusan, lantas, dikembalikan kepada pihak sekolah. Murid pun belajar memahami UN sebagai sebuah cermin untuk melihat kemampuan diri sendiri setelah tiga atau enam tahun belajar di ruang kelas. UN juga bukan lagi hakim penentu keberhasilan proses interaksi belajar mengajar yang susah payah dilakukan bertahun-tahun.
Di titik ini, ketika UN sudah tidak lagi menjadi dominan dalam kelulusan siswa, tanggungjawab kembali ada sepenuhnya pada pihak guru dan sekolah untuk sungguh-sungguh mengimplementasikan sistem pendidikan dan belajar mengajar yang benar secara keseluruhan.
Sebuah sistem dan metode pendidikan yang bisa mewujudkan proses belajar mengajar yang kreatif serta merangsang keinginan siswa untuk mencintai proses pembelajaran itu sendiri, alih-alih mengejar hasil. Mudah-mudahan.
(utd/gen)