Jakarta, CNN Indonesia -- Mabes Polri menyatakan penambahan pasal dalam surat pemanggilan yang dilayangkan untuk Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto adalah hal biasa.
"Itu biasa terjadi dalam proses penyidikan, karena kasus terus dikembangkan oleh penyidik," kata Kepala Bagian Penerangan Umum Komisaris Besar Rikwanto di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (3/2).
Dia menjelaskan, semua itu bisa terjadi setelah melakukan mekanisme gelar perkara. Melalui mekanisme itu, penyidik menentukan apabila ada pasal yang harus ditambahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Misalnya kasus pembunuhan, setelah didalami ternyata pembunuhan berencana. Maka pasalnya ditambah jadi pembunuhan berencana," ujar Rikwanto.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Ronny Franky Sompie mengatakan bila ada keberatan atau komplain tim pengacara bisa langsung menanyakan ke Kabareskrim. “Kan ada mekanisme hukumnya, ada kridor hukumnya, kalau ada yang tidak cocok bisa disampaikan langsung, tidak perlu melalui media,” kata Ronny kepada CNN Indonesia sebelumnya.
Ronny memastikan pemeriksaan penyidik Polri terhadap Bambang Widjojanto di bawah kontrol Kepala Bareskrim Polri.
Nursyahbani Katjasungkana, kuasa hukum Wakil Ketua Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto, menilai surat pemanggilan yang dilayangkan kepada kliennya cacat hukum karena berbeda dengan surat penangkapan yang ada sebelumnya.
Sebelumnya, dalam surat penangkapan, hanya tertulis pasal 242 KUHP. Sementara dalam surat pemanggilan kali ini, tertulis pasal 242 ayat 1 KUHP.
"Itu perubahan yang sejak awal kami permasalahkan ke polisi karena tidak jelas pasal 242 KUHP ayat berapa yang disangkakan," kata Nursyahbani.
Sebelumnya, Bambang dilaporkan pada tanggal 19 Januari lalu ke Bareskrim Polri. Empat hari setelah dilaporkan, pada Jumat (23/1), Bambang ditetapkan sebagai tersangka.
Bambang ditengarai melanggar Pasal 242 juncto Pasal 55 KUHP dalam kasus kesaksian palsu saat dirinya menjadi kuasa hukum perkara sengketa Pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010 silam.
Penetapan tersebut menyusul penetapan tersangka calon Kapolri Komjen Budi Gunawan oleh lembaga antirasuah, Selasa (13/1).
(obs)