Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Rieke Dyah Pitaloka menegaskan bahwa pemerintah harus menanggung biaya pengobatan bayi Ryuji Marhaenis Kaizan yang merupakan peserta program Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Ryuji merupakan bayi berusia lima bulan yang mengidap penyakit Atresia Bilier. Penyakit ini menyebabkan penyumbatan saluran pembawa cairan empedu dari hati ke kandung empedu. Oleh karena itu, Ryuji harus menjalani transplantasi hati yang memakan biaya sampai Rp 1,2 miliar. Namun, ayah Ryuji, Ferry Yunizar, mengatakan BPJS Kesehatan hanya mau menanggung Rp 250 juta.
"Kami sudah jalani semua prosedur dan memberikan semua dokumen yang dibutuhkan kepada BPJS Kesehatan. Namun, mereka hanya mau menanggung Rp 250 juta dengan alasan menaati regulasi yang ada," kata Ferry saat ditemui di Gedung DPR Republik Indonesia, Senayan, Jakarta Selatan, Jumat (6/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ferry mengaku kecewa dengan layanan BPJS Kesehatan dan sosialisasi yang tidak sesuai kenyataan. "Selama ini dikatakan BPJS Kesehatan akan menanggung biaya pengobatan tanpa batas biaya. Berarti selama ini BPJS Kesehatan bohong kepada publik," katanya.
Ferry merupakan anggota BPJS Kesehatan non PBI (Penerima Bantuan Iuran) kelas II. "Saya selalu taat bayar iuran. Namun, ternyata kejadiannya begini," kata Ferry. Ia pun kini masih menunggu keputusan BPJS Kesehatan, apakah bisa menanggung semua biaya atau tidak.
Meski begitu, ia mengapresiasi kerja dokter dan petugas medis lainnya di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo yang saat ini menjadi tempat Ryuji dirawat. "Mereka bekerja dengan sangat baik dan intensif dalam melayani Ryuji," kata Ferry.
Ferry mengatakan menurut keterangan dokter yang merawat Ryuji, penyakit tersebut termasuk langka."Dokter mengatakan Indonesia belum punya teknologinya, jadi harus dibawa ke Singapura atau Jepang," kata Ferry.
Sementara itu, Rieke mengatakan pembiayaan pengobatan Ryuji bisa ditutup dengan kas negara. "Negara harus bertanggung jawab atas kesehatan warga negaranya. Saya rasa bisa pakai kas negara. Ini persoalan kehendak politik negara kita," katanya.
Di satu sisi, Rieke berpendapat BPJS Kesehatan selama ini berpaku pada regulasi untuk masalah biaya sehingga tidak bisa langsung disalahkan. "Nanti kalau tidak sesuai regulasi, mereka yang kena," katanya.
Oleh karena itu, menengarai persoalan ini, Rieke mengusulkan adanya revisi Peraturan Presiden 111 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Berdasarkan pasal 25 ayat 1 dikatakan pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan.
Rieke mengusulkan revisi pasal tersebut yaitu dengan memberikan pengecualian bagi penyakit langka yang belum bisa ditangani di dalam negeri. "Jadi, nantinya untuk penyakit langka yang harus ditangani di luar negeri tetap harus ditanggung BPJS Kesehatan. Apabila kondisi keuangan BPJS Kesehatan tidak memungkinkan maka negara wajib mengambil alih tanggung jawab atas biaya pengobatan pasien," kata Rieke.
Selain itu, Rieke juga mengatakan perlunya revisi Permenkes Nomor 59 tahun 2014 tentang Standar Tarif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Namun, ia menegaskan pengobatan Ryuji tidak boleh menunggu penyelesaian revisi Perpres dan Permenkes itu.
"Pengobatan Ryuji harus berjalan seiring dengan diusahakannya revisi Perpres dan Permenkes itu. Saya yakin bisa ditutup dengan kas negara. Kalau suntik BUMN saja bisa sampai sekitar Rp 70 triliun, maka harusnya biaya Rp 1,2 miliar bisa mudah diberikan untuk kesehatan warga negaranya," katanya.
(utd)