Jakarta, CNN Indonesia -- Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam dan Dinas Kehutanan Provinsi Papua menggagalkan pembalakan kayu ilegal. Kayu-kayu ilegal jenis Merbabu yang ditemukan di empat kontainer itu semula hendak dikirim ke sebuah perusahaan di Surabaya, Jawa Timur.
"Kayu-kayu tersebut berasal dari Keerom, Papua, dan rencananya akan dikirim ke PT BS di Surabaya," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dalam pernyataan yang diterima CNN Indonesia, Jumat (27/2).
Penangkapan pelaku pembalakan liar di kawasan Keerom terjadi pada Kamis (26/2), dipimpin langsung oleh Menteri Siti. Saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) masih menyidik kasus penebangan hutan ilegal tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kegiatan pembalakan liar seperti yang terjadi di Papua tersebut, ujar Siti, bisa disamakan dengan kegiatan terorisme. Oleh sebab itu ia meminta seluruh jajaran kementeriannya untuk berkomitmen penuh dalam memberantas penebangan kayu ilegal di seluruh hutan di Indonesia.
"Merusak hutan dengan pembalakan liar merupakan kejahatan setingkat terorisme karena dapat merusak masa depan generasi yang akan datang," ujar Siti.
Dia pun meminta bantuan masyarakat untuk memberikan informasi apapun terkait pembalakan liar. Menurut Siti, informasi sekecil apapun penting agar pemerintah bisa segera bertindak untuk menanganinya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, pembalakan liar di Papua sudah sering terjadi namun tak pernah ada penyelesaiannya. Beberapa lembaga swadaya masyarakat bahkan menyebut Papua sebagai lokasi paling favorit untuk melakukan pembalakan liar.
Pembalakan yang terjadi di Papua akhirnya menyebabkan terjadinya banjir bandang, salah satunya yang pernah terjadi di Wasior, Papua Barat. Pembalakan liar kerap terjadi akibat kelalaian dan eksploitasi berlebihan yang dilakukan warga.
Sesuai Pasal 50 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, setiap orang dilarang untuk merambah kawasan hutan, dan jika melanggar akan dikenakan hukuman penjara paling lama 10 tahun ditambah denda Rp 5 miliar.
(utd/agk)