Jakarta, CNN Indonesia -- Tiga orang penyidik Direktorat Reserse dan Kriminal Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Polda Metro Jaya menyambangi gedung Dewan Pers, di bilangan Kebon Sirih, Jakarta. Mereka meminta pertimbangan anggota Dewan Pers soal pelaporan pelanggaran yang dituduhkan pada Majalah Tempo.
"Penyidik ada tiga orang meminta keterangan saksi ahli, Pak Heru Cahyo (anggota Dewan Pers)," ujar Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo yang akrab disapa Stanley, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa ( 3/3). Heru ditugaskan langsung oleh Ketua Dewan Pers Bagir Manan untuk memaparkan pandangan soal pers dan kode etiknya.
Pemeriksaan berlangsung mulai sekitar pukul 11.00 WIB di ruang rapat Dewan Pers. "Pemeriksaan dilakukan tertutup," ujar Stanley melanjutkan. Keterangan Cahyo akan dijadikan pertimbangan oleh penyidik untuk merumuskan ada atau tidaknya unsur pidana dalam laporan dugaan pelanggaran Majalah Tempo.
"UU yang dituduhkan UU Perbankan dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang," ujar Stanley.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, LSM yang menamakan diri Gerakan Masyarakat Arus Bawah (GMAB) menggugat Majalah Tempo pada tanggal 22 Januari 2015 lalu. Majalah Tempo dinilai salah lantaran menarasikan aliran transaksi keuangan jenderal bintang tiga tersebut dalam artikel majalah bertajuk"Bukan Sembarang Rekening Gendut" tertanggal 19-25 Januari 2015.
Alhasil, Majalah Tempo dituduh melanggar Pasal 47 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan serta Pasal 11 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Berdasar penelusuran CNN Indonesia Pasal 47 UU Perbankan, siapa pun tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, diancam dengan pidana minimal dua tahun dan maksimal empat tahun. Sementara itu, untuk pidana denda yakni minimal Rp 10 miliar dan maksimal Rp 200 miliar.
Sementara itu, Pasal 11 UU Pencucian Uang menjelaskan apabila pejabat atau pegawai Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut undang-undang ini wajib merahasiakannya kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut undang-undang ini. Apabila melanggar, maka diancam dengan pidana penjara maksimal empat tahun.
Dalam momen yang bersamaan, GMAB juga melaporkan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan Ketua PPATK Yunus Husein. Yunus dituduh membocorkan aliran transaksi keuangan milik Budi Gunawan.
Polemik Budi Gunawan mencuat saat dirinya diusulkan oleh Presiden Joko Widodo menjadi calon tunggal Kapolri pada 9 Januari lalu. Namun, tuga hari berselang, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Kepala Lembaga Pendidikan Polri tersebut sebagai tersangka suap dan gratifikasi. Alhasil, rekening Budi menggelembung miliaran rupiah.
Merujuk Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Budi memiliki harta kekayaan dengan total senilai Rp 22,65 miliar pada 2013. Harta tersebut berlipat lima kali sejak Agustus 2008 silam dari jumlah Rp 4,6 miliar.
Selain itu, berdasarkan dokumen yang diperoleh CNN Indonesia, diketahui ada transaksi setoran dana mencapai Rp 29 miliar saat Budi membuka rekening di sebuah bank swasta pada 2 Agustus 2005. Saat itu, profil Budi adalah anggota Polri.
Lebih jauh lagi, dokumen juga menyebutkan ada setoran dana sebesar Rp 25 miliar pada rekening atas nama Muhammad Herviano Widyatama, putra Budi. Nilai tersebut tidak sesuai dengan profil Herviano yang seorang mahasiswa.
(sip)